Di tengah hujan

3.9K 207 0
                                    

-Revisi-

Air hujan menetes dengan derasnya, setiap tetesannya terasa sakit menyentuh setiap tubuhnya seolah berusaha menyadarkan Kiera pada keadaan terpuruknya namun, ia tertegun menatap manik hitam teduh milik Deva. Mata lelaki itu seolah terpanah melihat pesona yang tak dimengerti Kiera, sorot matanya terlihat berbinar seperti sedang mengagumi keindahan berlian. Kiera kembali meneteskan air mata, bibirnya bergetar hebat merasakan dinginnya air hujan, perih di lututnya semakin terasa kala air langit membasahi luka itu, dia seakan tak bisa mengalihkan pandangannya dari manik hitam Deva. Sangat mempesona. Tapi dia tak habis pikir bagaimana bisa Deva hanya menatapnya tanpa berkedip? dia bahkan tak mengatakan apapun sejak beberapa menit lalu saat Kiera melepas maskernya.

Kenapa kamu diam aja? Kiera berucap dalam hati.

"Kamu cantik," senyuman itu masih bertahan di bibir Deva, tangan kokohnya tetap berada di atas kepala Kiera untuk mencegah air hujan menyakiti mata gadis itu.

Begitu mendengar ucapan Deva tanpa sadar Kiera menarik ujung-ujung bibirnya keatas, dia tersenyum simpul, semakin lama semakin melebar lalu bahunya sedikit terguncang menunjukkan dia sedang tertawa.

Aneh, dia aneh, batin Kiera.

Deva menaikkan alis, "Kamu ketawa?" dia mendekatkan wajahnya ke arah Kiera, berusaha melihat raut gadis itu hingga membuat air hujan yang membasahi rambutnya menetes di pipi Kiera.

Kiera menutupi bibirnya, ia berusaha menahan tawanya lalu memandang mata teduh Deva.

Satu detik, dua detik, tiga detik keduanya saling beradu tatap.

Apa dia nggak kenal aku? Kiera bertanya-tanya.

"Kalau senyum jadi makin cantik," kata-katanya meluncur begitu saja, suara Deva lebih terdengar mengigau.

Pipi Kiera lantas merona, ia sering mendengar itu sebelumnya, tapi entah kenapa mendengar ungkapan itu dari Deva terdengar lebih tulus. Menggemaskan.

Bersamaan dengan itu Kiera seakan tersadar akan sesuatu, ketakutannya mencuat begitu saja seakan kembali menerkam kebahagiaan sekilasnya, seperti tak rela membiarkan Kiera mendapat kebahagiaan sedikit saja.

Entah setan apa yang merasukinya tiba-tiba Kiera mendorong tubuh Deva. Meski kekuatan maksimalnya tak seberapa, tapi itu mampu membuat Deva terhuyung ke belakang walau tak sampai jatuh.

"Kenapa? Apa aku salah ngomong?" Deva melempar tatapan penuh tanya namun, Kiera hanya diam dengan dagu mengeras, napasnya memburu karena kekesalan yang tiba-tiba memuncak. Jika saja yang di depanya itu bukan Deva mungkin Kiera akan mencabik-cabik lelaki itu, tapi dia masih berusaha menahan kewarasanya. Setidaknya masih berpikir jika Deva tak pantas menerima kekesalannya sebab Kiera tidak mengenalnya.

Deva berjalan mendekat, tapi Kiera mengangkat tangan kananya ke depan untuk melarang Deva lebih dekat lagi.

Kiera mundur satu langkah sambil menatap Deva dengan tatapan yang sulit diartikan lalu berlari meninggalkannya. Ia menerjang hujan di temani air matanya. Meski matanya terasa perih dan lututnya ngilu, Kiera tetap berlari, dia berlari sekuat mungkin tanpa takut kembali terjatuh. Banyak pasang mata di bawah payung menatapnya aneh saat dia melewati pejalan kaki di sekitarnya, tapi Kiera mengabaikannya. Bahkan untuk saat ini dia sudah lupa untuk menutupi wajahnya.

***

Di sinilah Kiera duduk sambil menenangkan diri, di atas kasur sembari menatap kosong ke arah pigura kecil di atas nakas, dia membungkus badannya dengan selimut tebal, Kiera memegangi gelas yang berisi teh panas. Tangannya terasa hangat, kepulan uap minumannya sedikit menerpa wajahnya membuatnya merasa lebih baik, jauh lebih tenang tepatnya. Apalagi sambil menatap wajah mendiang ibunya yang tersenyum lembut dalam pigura itu. Menyenangkan sekali.

Tok! Tok! Tok!
Pintu diketuk keras, tanpa menebak pun Kiera tahu suara itu ditimbulkan oleh siapa.

Sungguh seseorang di balik pintu yang satu ini memang paling mampu membuatnya mengerang sebal.

Bisa nggak sehari aja Bu Asta nggak nyuruh aku waktu anak kesayangannya itu lagi nggak mau disuruh? Kiera membatin dengan memutar bola mata.

Kiera meletakkan gelas berukuran besar itu di atas nakas, sedikit menekannya kala meletakkan gelas itu karena sebal, tangannya menyingkap selimut dengan tak sabaran lalu menyambar masker dan mengenakannya, setelah itu barulah Kiera berjalan menuju pintu. Ketukan itu tanpa henti mengguncang pintu kamar membuat Kiera kesal mendengarnya.

Begitu sampai di pintu Kiera lantas membukanya.

"Syukurlah, kirain nggak di kamar. Ini anterin ke rumah Deva, rumahnya yang kemarin itu loh, sekarang!" Bu Asta menekan kalimat terakhir sambil memaksakan senyum.

Dan demi kalimat menyebalkan itu, Kiera mengumpat dengan segenap hati dalam batinnya.

Bu Asta menyodorkan kotak makanan itu pada Kiera lalu meninggalkannya begitu saja, tanpa mengucapkan terima kasih pula. Bagus sekali.

***

Kiera menutup payung berwarna putih itu dengan sedikit kesal lalu meletakkannya di samping pintu. Sungguh dia merasa akhir-akhir ini kesialan selalu mengikuti Kiera, seakan tak menginginkan gadis itu sejenak saja merasakan sesuatu yang dinamakan ketenangan, bahkan di malam hari dengan udara sedingin ini Kiera tak bisa menikmati teh panasnya dengan perasaan damai.

Kiera mengetuk pintu rumah itu sambil berharap sang pemilik rumah alias Deva segera menyambutnya, agar dia bisa segera memberikan sesuatu di tangannya itu, dan setelahnya dia bisa kembali ke kamar hangatnya untuk kembali melanjutkan kegiatan menyenangkannya tadi.

Sebentar saja dia mengetuk akhirnya pintu itu dibuka dari dalam, menampakkan Deva yang masih mengenakan handuk sebatas separuh badan saja.

Melihat Deva dengan penampilan seperti itu membuat Kiera otomatis berbalik hingga badannya menegang. Dia malu sekali melihat Deva dengan penampilannya ini.

Gila, dia itu suka banget ya pamerin badannya ke sembarangan orang? Kiera membatin jijik.

Sedangkan Deva yang tadinya mengira Kiera adalah Lukman tanpa sadar melotot dan secepat mungkin bersembunyi di balik pintu.

"Sorry, maaf. Aduh!" Deva menepuk dahi. "Tu-tunggu sebentar." Deva memelesat menuju kamar, bersamaan dengan itu listrik tiba-tiba padam. Deva menyempatkan diri untuk mengutuk pihak PLN yang membuatnya berada dalam situasi yang tak menguntungkan dirinya.

"Sial! Bajuku kemana semua, hp mati, senter nggak di charge, lilin nggak tahu kemana. Bangke!" Deva mengumpat sambil terus meraba ke sekeliling mencari pakaiannya.

Begitu menemukan bajunya, dia segera memakainya dengan buru-buru.

Prang!
Suara sesuatu yang pecah terdengar di ruang depan.

Deva segera berlari ke sumber suara sampai tak sengaja tersandung karpet, beruntung dia tak sampai jatuh.

Begitu berada di sana Deva mendengar desahan Kiera yang terdengar kesakitan.

"Ra, kamu kenapa? Kamu dimana?" Deva mengulurkan tangan ke segala arah berusaha menemukan Kiera.

***

Note:
Jangan lupa baca cerita baru author:

I See You

Masih baru banget. Bakal rajin update nih, jadi jangan lupa kasih vote ya buat semangatin author. Makasih banyak man teman.🌼❤️

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang