-Revisi-
"Aw!" Deva memegangi pipi kirinya. "Sakit, Ra," ia menunjukkan raut cemberut.
Bukan sikap prihatin yang diberikan Kiera melainkan alis bertaut dan tatapan tajam yang mengintimidasi. Sungguh ia kesal sekali.
Kiera segera menulis sesuatu lalu membaliknya agar dibaca Deva.
Siapa yang nyuruh buka maskerku?!
"Astaga!" Deva menyadari kebodohannya, sungguh ia tak sadar saat melakukannya. "Dasar tangan nggak sopan!" ia memukul tangannya sendiri.
Kiera hanya memutar bola mata jengah lalu kembali mengenakan maskernya.
"Kenapa dipakai lagi?" Deva mencegah tangan Kiera untuk menutupi wajahnya.
Kiera membalasnya dengan raut datar.
"Maksudku, aku kan udah tahu wajah kamu. Jadi,... ya kenapa di pakai lagi? Lagian aku udah lihat."
Raut datar Kiera tetap tak berubah meski melihat senyum lebarnya.
"Aku janji nggak akan kasih tahu ke siapa pun."
Kiera membuang muka lalu menggeleng. Sungguh itu membuat Deva putus asa.
"Kenapa, sih? Aku janji nggak akan bilang ke siapa-siapa. Lagian aku juga nggak punya temen, nggak kenal tetangga, nggak pernah keluar rumah, nggak-" ucapannya terputus sebab Kiera menghentikannya dengan mengangkat tangan ke depan wajah Deva.
"Kenapa?"
Kiera menunduk untuk menulis beberapa kata, setelah selesai meski sedikit ragu ia membalikkan note-nya.
Aku yakin, setelah tahu siapa aku yang sebenarnya kamu bakal benci aku.
Deva membacanya sambil terkekeh, "Kenapa aku harus benci?"
Kiera menghela napas kali ini lebih panjang. Jujur saja dia sedikit membenarkan ucapan Deva, ia tahu Deva sudah melihat wajahnya meski begitu Deva tak menunjukkan sikap benci terhadapnya. Tapi bagaimana jika Deva tahu tentang dirinya yang sesungguhnya? Pertanyaan itu terus tertanam dalam pikiranya.
***
"Kamu nggak mau mandi dulu sebelum balik ke kosan?" Deva menanyakan.
Kiera menggeleng, sepintas ia membayangkan bagaimana kondisi kamar mandinya mengingat tak ada sejengkal tempat pun yang terlihat bersih di rumah Deva.
Deva mengangguk paham, ia memberikan tangannya pada Kiera, "Pulang?" ia menyuguhkan senyumnya.
Kiera menatap Deva beberapa detik, sungguh ia tak percaya dengan keadaannya saat ini. Dengan terpaksa dia harus berpegangan dengan Deva untuk pulang. Jujur saja bagi Kiera, saat ini dia lebih terlihat sangat tak berdaya layaknya nenek tua yang harus dibantu berjalan oleh cucunya.
Kiera memegang tangan Deva, ia merasa tubuhnya sangat ringan ketika tangan Deva yang lainnya menopang pinggulnya untuk berdiri. Ia diam saja kala Deva mengalungkan tangan Kiera di lehernya, lelaki itu sampai harus membungkuk untuk menyeimbangkan tinggi badannya dengan Kiera.
"Pelan-pelan aja jalannya kalau masih sakit," Deva melingkarkan tangannya di pinggang Kiera, menopangnya agar Kiera tak kesulitan berjalan.
Keduanya mulai berjalan keluar rumah, saat melewati pintu Kiera menghentikan langkahnya membuat Deva menoleh padanya.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Deva memastikan.
Kiera menoleh ke belakang menatap pintu yang terbuka.
"Oh, pintunya nggak ditutup, ya? Tenang aja ini masih jam enam pagi, di depan banyak yang seliweran makanya maling nggak akan masuk ke rumahku. Lagian siapa yang berani masuk ke rumah yang kelihatan serem gini?" Deva berujar bangga, sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. Ia benar-benar merasa bodoh karena baru saja membanggakan rumahnya yang begitu kotor. Haruskah Kiera tertawa?
"Jalan lagi, Ra," Deva menggaruk tengkuknya.
Mereka mulai berjalan lagi, selama beberapa menit berjalan akhirnya mereka sudah dekat dari tempat kosan Kiera. Begitu melewati persimpangan, jalan tali masker Kiera terlepas sampai membuat maskernya jatuh ke tanah, seketika maskernya jadi kotor terkena genangan air. Kiera terkejut menatap maskernya. Ia mulai gelisah, terlebih di sekitarnya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Tamat sudah riwayatnya.
Deva yang menyadari hal itu segera melepas jaketnya, "Kamu pakai, ya?" ia memakaikannya pada Kiera lalu menutupi kepala gadis itu dengan tudung jaket, "Kamu nunduk aja jalannya."
"Hei?! Kamu Kiera Zee bukan?" celetuk seorang perempuan di belakang Deva.
Kiera terkejut bukan main, jantungnya mulai berdebar kencang karena takut, tanpa sadar ia menggenggam erat tangan Deva dan bersembunyi di balik badan jakung lelaki itu.
"Bukan, dia temenku," Deva menjawab.
Seketika suasana jadi tegang, beberapa orang mulai berkerumun dan berbisik satu sama lain.
"Iya, dia itu Kiera Zee. Aku benci banget sama dia!" yang lainnya ikut berceletuk.
"Penyanyi model tampang doang itu, kan? Ish, jijik!"
"Syukurin sekarang nggak terkenal!"
"Itu akibatnya kebanyakan numpang tenar sama Dion. Untung aja sekarang Dion udah sama Reina."
Mendengar ucapan mereka membuat telinga Kiera berdengung, dahinya keluar keringat dingin, pikirannya mulai melayang ke beberapa waktu yang lalu saat dirinya di tengah jalan dan dihina oleh orang-orang di sana, ia juga dilempari sesuatu oleh mereka, saat itu dia sampai pingsan. Dia beruntung sempat di tolong oleh Dr. Resa kala itu.
Deva mulai panik ia menoleh ke arah Kiera yang memegangi telinga, ia bisa melihat ketakutan di wajah Kiera.
Deva menatap ke arah mereka yang masih menghina Kiera, "Tolong berhenti! Cukup! Dia bukan Kiera Zee. Kalian salah orang! Silakan bubar! Ayo pergi!"
Bukannya menuruti ucapan Deva, mereka malah mencemooh Kiera tanpa henti seakan meluapkan dendamnya selama ini. Beberapa dari mereka mulai mendekat dan mencoba membuka paksa tudung kepala Kiera.
Deva segera memeluk Kiera untuk melindungi gadis itu, "Pergi kalian! Sana pergi!" Deva menepis tangan liar mereka.
"HEI, KALIAN! BERHENTI!" suara melengking memekakan telinga muncul di balik kerumunan orang-orang itu, membuat mereka hening seketika dan beralih menatapnya.
Seseorang yang baru berteriak itu menembus kerumunan dan berdiri di depan Kiera dan Deva.
"Bubar sekarang! Ayo bubar!" Ucapnya seraya melotot meski suaranya tak setinggi tadi.
***
Lanjut nggak? Oke, masih proses kok. 👌
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...