-Revisi-
Kiera duduk di tepian ranjang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia masih menunggu reaksi Reina rupanya.
Reina masih tersenyum, kemudian tanpa malu berdiri dengan angkuhnya, "Udah rusak kan? sekarang pergi-"
"Aku nggak akan lakuin hal sebodoh itu," potong Kiera masih tanpa ekspresi. Dan sungguh, mendengarnya bicara merupakan kejutan yang luar biasa untuk Reina.
Tepat sekali! Kiera memang sudah bisa bicara. Dia sudah sembuh, dan baru saja bersuara untuk pertama kalinya untuk Reina. Bukan ingin membuatnya terkesan, tapi supaya perempuan itu meyakini sesuatu yang pernah dianggapnya sebagai hal mustahil.
Saking kagetnya, Reina sampai tak sanggup berdiri hingga badannya terhuyung sebelum jatuh di atas kursi. Ia tercengang sekaligus tak menyangka.
"Karena aku masih punya salinannya," lanjut Kiera sambil tersenyum getir. Ia mengeluarkan kaset CD yang sama seperti sebelumnya.
"Nggak, nggak mungkin," suara Reina lirih dengan getar nada penuh ketakutan. "Kamu bisu Kiera. Bisu-"
"Aku udah sembuh sepenuhnya."
"Tapi-"
"Kakak tahu?" Kiera berdiri dari tempatnya, "ku pikir setelah Kak Reina lihat ini, semuanya akan berubah."
Reina tertegun, ia mulai panik tanpa bisa lagi untuk berpikir jernih. Jangankan berpikir, rasa takutnya saja sudah memuncak mendengar setiap kalimat yang dilontarkan Kiera. Kini ia hanya takut riwayatnya akan benar-benar selesai setelah ini.
"Kakak udah banyak berubah," Kiera berjalan mendekati jendela kamar. Ia membuka kordennya hingga sepenuhnya. Sejenak ia memejam merasakan hangatnya matahari pagi.
Lalu, Kiera membuka matanya sambil menerawang jauh ke depan, "Kakak ingat nggak? dulu setelah Ibu nggak ada, Kakak yang buatin sarapan buat aku. Kakak yang ngerawat kalau aku sakit, bahkan kasih sayang Kakak cuma buat aku, bukan untuk Kak Reina sendiri. Tapi setelah Kakak tahu aku jadi bisu, saat itu juga Kakak berubah. Detik itu juga, Kakak nggak menyisakan kasih sayang Kak Reina buat aku, bahkan belas kasih pun nggak pernah ada."
"Stop!" Reina memekik seraya berdiri.
Kiera sampai berbalik menghadapnya karena tahu Reina akan bersikap seperti itu.
"Kenapa? Kakak mau minta maaf?"
Reina berdecih, "Buat apa?" ia merendahkan Kiera. "Kamu nggak pantas hidup sebahagia itu kalau aku sendiri menderita."
"Apa-"
"Dari kecil Kiera! dari kecil aku udah kurang kasih sayang gara-gara kamu! Ibu lebih sayang kamu ketimbang aku!" napas Reina memburu.
Kini ia berjalan mendekati Kiera, "Kamu udah cukup bahagia, Ra! bahkan buat ganti kesedihan aku kamu nggak akan bisa!"
Meluap sudah kesedihan dan lara yang sudah lama dipendamnya. Menyakitkan namun, memuakkan. Menyedihkan, tetapi memyebalkan. Walau begitu, Reina tak ingin dirinya terlihat lebih menyedihkan lagi di depan Kiera.
"Ibu nggak pernah pilih kasih-"
"Apa buktinya?" tantang Reina. "Sejak kamu jadi penyanyi, sejak kamu mulai terkenal Ibu nggak pernah lagi perhatiin aku. Aku sakit pun Ibu cuma suruh perawat buat jagain aku. Sedangkan Ibu malah urus semua kebutuhanmu. Kasih sayang Ibu cuma buat kamu, Kiera! Cuma buat kamu!" Reina berkaca-kaca.
Kiera tak sanggup berkata-kata, ia tak menduga Reina akan berpikir seburuk itu atas Ibunya. Ingin sekali ia menamparnya karena berani menghina Ibunya, tapi rupa menyedihkan Reina sudah cukup untuk menyiksa Reina sendiri.
"Berapa tahun aku hidup tanpa kasih sayang? dua puluh dua tahun, Kiera. Dua puluh dua tahun!" Reina menekankan. "Kenapa aku lakuin ini ke kamu? karena aku iri."
Reina mendengus kecut, "Iya! aku iri sama kamu! kamu yang ambil semuanya dari aku, kamu yang udah buat hidup aku nggak sebahagia ini!" kini air mata Reina mengalir deras.
"Semuanya udah berakhir, Kiera!" Reina mendekat dan meraih kaset CD di tangan Kiera. Lagi-lagi ia merusaknya, tapi kali ini Reina membanting benda rapuh itu dengan geram dan cukup keras. Seakan melampiaskan kekesalannya pada benda tak bersalah itu.
Kiera terkekeh melihat tingkahnya. Memang tidak lucu, tapi terlihat menyebalkan mengingat Reina tak sepantasnya melakukannya lagi.
Sambil mengikis senyumnya, Kiera berkata, "Aku masih punya banyak salinannya."
Bagai disambar petir badan Reina lemas seketika. Kini hancur sudah tameng Reina sepenuhnya. Ia ambruk dan bersimpuh di depan Kiera. Reina benar-benar tak sanggup berdiri lagi kali ini, bahkan ia yakin tak akan mendapat kesempatan lagi meski hanya mendapatkan maaf dari Kiera.
"Aku bakal lakuin apapun asal kamu hapus video itu. Tapi kumohon, jangan sebarin ke media, please!" Reina memohon.
"Kiera," Reina mendongak. "Kita saudara kan? aku Kakak kamu, kita bisa mulai semuanya dari awal dan aku janji nggak akan bertingkah bodoh lagi. Aku bener-bener minta maaf," Reina meraung di depan Kiera, seolah dirinya tak punya lagi sesuatu yang dinamakan harga diri.
"Kakak pikir semuanya akan membaik?" kata Kiera tanpa ekspresi dalam suaranya. "Kalau aku maafin Kakak, apa semuanya selesai begitu aja? seolah nggak pernah terjadi apapun di masa lalu?"
Reina berhenti menangis, ia mulai terdiam seraya menatap Kiera lekat.
"Buat aku, Kak Reina cuma masa lalu yang tiba-tiba meminta maaf ke aku tanpa tahu apapun yang udah ku lalui."
"Kiera-"
"Kakak pikir dengan maaf bisa memperbaiki semuanya?" tutur Kiera.
Reina tersentak mendengarnya, ia hanya bisa bungkam mendengar ucapan Kiera.
Kiera mengambil posisi duduk di depan Reina, menatapnya dalam diam tanpa menunjukkan erekspresi yang dirasakannya.
"Jujur, aku udah maafin Kakak. Tapi aku nggak bisa bohong kalau masih ada rasa sakit di sini," Kiera menepuk dadanya dua kali seakan menunjukkan letak sakitnya. "Jadi ku mohon, Kakak pergi dari sini. Karena untuk sementara, aku nggak bisa menahan emosiku buat Kak Reina."
"Tapi ini rumah kita-"
"Kakak harus pergi," Kiera menekankan. Ia mengeluarkan selembar kertas di tas selempangnya. "Tanda tangan di sini dan semuanya akan kembali seperti sebelumnya."
"Tapi-"
"Atau Kakak mau video itu dilihat orang lain?"
Reina tercekat untuk kesekian kalinya, "Fine."
Dalam sekejap, Reina sudah menanda tanganinya. Dengan tangan gemetar ia memberikan pena di tangannya pada Kiera. Kini ia benar-benar kalah, tiada jalan untuknya karena melalui ini seorang diri. Ia yakin, Dion tak akan membantunya seperti yang pernah dilalui Kiera dulu. Miris sekali. Dalam sekejap semuanya berbalik menghunusnya. Bahkan ia ragu akan adanya jalan untuk dirinya di kemudian hari.
"Gimana bisa aku pergi dari sini?" lirih Reina dengan memelas.
"Kakak harus tahu. Dulu antara benci dan sayang hanya ada rasa sayang untuk Kakak, tapi semuanya berubah menjadi samar setelah perlakuan Kakak selama ini."
Kiera menghela pelan, "Tapi aku percaya, Kak Reina lebih baik dari itu. Aku pernah ngerasain kasih sayang Kakak. Semoga yang dulu ku rasain memang benar-benar tulus, karena itulah yang akan menuntun Kakak kembali ke seorang Reina yang sesungguhnya."
"Kiera-"
Kiera membantunya berdiri dan mulai menatapnya. Matanya terlihat teduh meski tanpa ekspresi yang membingkai wajahnya. Dia sengaja tak tersenyum karena tak ingin memunafikkan diri jika masih memiliki rasa kecewa. Kiera hanya berkedip pelan sambil berkata. "Selamat tinggal, Kak."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...