-Revisi-
"Denger nggak?" perempuan bertubuh agak gendut itu bertanya pada yang lain.
"Iya, aku denger," perempuan yang satunya menyahuti.
"Kayaknya dari atap, kita lihat aja," lelaki yang sedari tadi hanya diam kini curiga.
Lukman membeku, dia tak bisa berpikir lagi.
"Apa di lubang atap itu ada Kiera?"
"Mungkin aja."
"Kita pastiin aja. Ayo, kita lihat ke atas!" lelaki bertubuh jakung itu berjalan mendekati atap rumah yang terbuka.
Lukman segera berlari menghadang, "Kalian mau apa?!"
"Tadi kita denger ada suara di sana," lelaki itu menunjuk ke atap.
"Nggak ada apa-apa di sana," Lukman menjawab sambil menahan wajah paniknya agar tak terbentuk.
"Minggir!" mereka mendesak dan mulai mendorong Lukman.
Keadaan mendadak menegang, Lukman sampai didorong berkali-kali karena menggalangi jalan mereka.
"Ngapain kalian?!" suara khas Deva menghentikan mereka. Kontan semua mata beralih menatapnya.
"Kiera di sana kan?" lagi-lagi lelaki yang bertubuh jakung itu menunjuk ke atap, dia terlihat masih curiga.
Deva menelan ludah dan mendelik saat menatap Lukman yang berekspresi gugup, "Lihat aja sendiri, di sana emang ada peliharaanku sih."
"Peliharaan?!" Lukman mendelik kaget.
"Tikus," jawab Deva sembari mengulum senyum.
Mendengar ucapan Deva sontak kedua perempuan itu menjerit dan keluar dari rumah, sementara kedua lelaki itu hanya menatap Deva dan Lukman bergantian dengan pandangan geli, sepertinya mereka juga tak suka dengan hewan satu itu.
"Jangan-jangan kata orang bener lagi," yang tadinya memaksa kini memasang raut takut. "Di sini banyak tikus sama hantunya!" Ia berlari meninggalkan temannya.
"Hoi, tunggu!" Akhirnya lelaki yang satunya ikut menyusul karena tiba-tiba merinding.
Tanpa sungkan Deva berekspresi bangga kala Lukman menatapnya aneh, dari matanya seolah mengatakan dirinya memang tetap membanggakan rumahnya meski terlihat layaknya rumah hantu.
Namun, serangan lelah Deva dan Lukman membuat keduanya merosot ke sofa karena lega semuanya berakhir.
"Kamu ngapain ikut duduk?" Lukman bertanya setelah menghela napas.
"Ini rumahku," tukas Deva.
Lukman nyengir kuda, "Udah tahu. Sekarang turunin dia dari atap, tangganya ku umpetin di dapur."
Mendengar itu Deva mendelik lagi. Meski masih lelah Deva tetap beranjak menuju dapur, "Kenapa sembunyi di atap sih? Kan di sana banyak tikusnya."
"Yang penting aman," Lukman menjawab.
Deva sampai di dapur, ia menggotong tangga kecil dari dapur dan meletakkannya di dinding, "Ra, udah aman. Kamu bisa turun."
Hening, tiada jawaban maupun suara dari Kiera membuatnya mengernyit bingung.
"Ra?" ia menatap atap terbuka dengan heran. Karena tiada respon apa-apa Deva memutuskan naik ke atap, saat di sana ia mendapati Kiera mematung di tempatnya. Dia sedang menutupi wajah dengan tangan, Kiera bahkan tak bergerak sedikitpun, entah dia ketakutan karena apa Deva tak tahu. Sedetik kemudian Deva menoleh ke kiri, saat itulah dia melihat ada seekor tikus sedang memakan sesuatu di tempat tak jauh dari Kiera.
Tangannya terulur menyentuh Kiera hingga gadis itu menoleh kaget padanya, "Kamu bisa turun, udah aman."
Dengan pelan ia merangkak mendekat, Deva meletakkan tangannya di atas kepala Kiera tanpa menyentuhnya memastikan agar gadis itu tak terantuk kayu penyanggah atap.
"Tunggu, aku turun dulu buat pegangin tangganya biar kamu nggak jatuh."
Kiera mengangguk paham meski masih ada guratan takut di wajahnya, tetapi saat lelaki itu hendak turun ia menggenggam tangan Deva karena melupakan sesuatu.
"Apa?" Deva bertanya setelah mendongak. Dia hanya mendapat jawaban dari gerakan Kiera yang menatapnya kikuk lalu menunduk.
Pandangan Deva jatuh pada tangan Kiera yang meremas ujung roknya. Sekarang dia paham maksud Kiera.
"A-aku nggak akan ngintip," Deva berujar kaku. "Aku turun duluan."
Perlahan ia menuruni tangga, setelahnya dia mulai memegangi tangga dan meminta Kiera menuruni tangga dengan hati-hati.
Kiera menatap ragu ke bawah. Ia tak menyangka hal ini terjadi padanya. Haruskah dia turun dan membiarkan lelaki itu berada di bawahnya? Sekarang ia menyesal atas rok sebatas lutut yang dikenakannya, sungguh ini terkesan mengerikan.
Karena tak kunjung turun, Deva berujar lagi tanpa berniat melihat ke atas, "Kamu bisa turun, Ra."
Kepasrahannya membuatnya menuruti Deva. Ia mulai menuruni tangga sesudah mendesah halus.
Kiera sudah sampai bawah, dia langsung berbalik memastikan Deva tak menatapnya. Deva berada di depannya, jarak mereka cukup dekat hingga Kiera dapat mencium parfum lelaki itu, aroma mint yang menyegarkan. Deva masih memalingkan wajah tanpa melepas pegangannya dari tangga besi yang bertengger di belakang Kiera. Dalam posisi itu jantungnya berdebar karena merasa lelaki itu hampir memeluknya.
"Udah turun kan?" tanya Deva sambil menoleh membuat wajahnya sejajar dengan wajah Kiera. Nyaris saja bibir mereka bersentuhan, jaraknya begitu tipis hingga Deva bisa mendengar degup jantung Kiera.
Kiera sampai berhenti bernapas karenanya, matanya membulat, dan badannya membatu.
Deva menyadari ketegangan gadis itu lalu perlahan mundur, "M-maaf."
Lelaki itu salah tingkah hingga melepas tangannya yang menempel di tangga. Terlihat semakin kikuk saat dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Melihat lelaki itu malu-malu membuat Kiera menahan bibirnya agar tak melengkung membentuk senyuman, ingin tertawa rasanya. Tingkah Deva terlihat lucu dan begitu manis, wajah Kiera sampai memerah seperti ini karenanya, beruntung Deva tak memperhatikan.
Lukman berseru memanggil Deva membuat keduanya terperanggah dan menoleh ke sumber suara.
"Ada Nisa nih ngamuk-ngamuk nggak jelas."
Kiera dan Deva beradu tatap. Alis Deva bertaut bingung.
Kiera menelan ludah, ketakutan mulai menyerangnya, tetapi dia berusaha menenangkan diri. Gadis itu berjalan menuju ruang depan dengan langkah ragu sementara Deva mengekor di belakangnya.
Deva memandangi punggung Kiera yang terlihat rapuh. Kalau saja ini tak terjadi padanya, mungkin gadis itu masih bisa terlihat ceria seperti yang lain. Mulai detik ini Deva memutuskan akan selalu ada untuk Kiera, menggenggam tangannya ketika gadis itu merasa takut, memberikan bahunya untuk bersandar kala Kiera sedih. Ia akan berusaha membuat Kiera kembali tersenyum bahagia, meski ia sendiri belum pernah melihat raut bahagia membingkai wajah cantik Kiera. Deva harus berusaha sekeras mungkin.
***
Buntu total! Beri aku tepuk tangan ges. 👏👏👏
Astaga aku butuh piknik.🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...