-Revisi-
"Hei, Kiera Zee?!" terdengar suara memekik kesal di belakang mereka, suara itu berasal dari seorang perempuan yang baru saja berjalan melewati mereka.
Mendengar namanya disebut membuat Kiera gemetar seketika, terlebih nada suaranya terdengar sedang menahan emosi. Jujur saja saat ini Kiera sama sekali tak berani menoleh, apalagi berbalik badan.
"Mana Kiera Zee?! Mana?!" Taris berekspresi antusias setelah berbalik menatap perempuan itu.
Deva sampai ternganga melihatnya, ia tak mengira Taris pandai berpura-pura. Padahal biasanya dia langsung mengomentari riasan setiap perempuan yang dilihat olehnya.
Lukman menepuk pelan pundak Deva, "Cewek emang pinter ngeles, aku udah biasa sih," bisik Lukman di telinganya.
"Kalian jadi pengawalnya dia sekarang?" perempuan itu mendekat seraya melotot. "Orang kayak dia masih aja hidup, ya?!"
"Hei!" sepertinya Taris tidak terima. "Dia itu cuma digosipin tentang yang nggak bener! Tapi bukan berarti dia salah sepenuhnya! Mancing banget tuh mulut!" Taris lepas kendali. Ia benar-benar tak suka jika idolanya dihina sedemikian rupa.
Perempuan itu sampai takut hingga tak sadar baru saja mematung di tempatnya.
Deva dan Lukman yang menyadari perubahan emosi Taris dengan sigap menyela pembicaraan.
"Dia lagi dapet Mbak. Sorry," Lukman menahan Taris mendekat agar keadaan tak semakin memburuk.
"Kesurupan mungkin dia, maklumi ya Mbak," Deva tersenyum kaku. Dia memang sangat payah dalam hal berpura-pura.
Kesurupan? Beneran deh nih anak nggak pinter bohong, bikin ketahuan aja, batin Kiera, sungguh dia tak habis pikir.
Perempuan berambut kriting itu memandang mereka dengan tatapan aneh, "Kalian ketahuan banget bohongnya! Udah jangan nyelimur! Cewek di belakang kalian itu Kiera Zee, kan?!"
Mendengar ucapan itu membuat Taris dan Lukman secara kontan menatap tajam Deva.
Kiera semakin gemetar, keringat dingin mulai terlihat di keningnya namun, dia tetap berbalik badan secara perlahan, kepalanya tetap tertunduk. Sungguh ia merasa riwayatnya benar-benar berakhir.
"Lihat aja sendiri dia itu bukan Kiera Zee!" Taris masih emosi.
Deva dan Lukman saling melempar tatapan tegang, keduanya sedikit takut usaha mereka tak berjalan lancar.
"Jangan nunduk gitu dong!" perempuan itu tak sabaran.
Kiera menelan ludahnya dengan susah payah sebelum akhirnya mendongak, kini ia menatap perempuan yang sedari tadi berusaha memojokkan dirinya.
Sontak perempuan itu berekspresi kaget bercampur kecewa, ia merasa dugaannya keliru dan membenarkan apa yang dikatakan Taris. Sekarang barulah dia berpikir gadis yang sekarang berdiri didepannya memang bukanlah Kiera Zee.
"Dia punya tahilalat di dagunya, dan wajahnya kurang putih dari Kiera Zee." Gumam perempuan itu.
Taris memamerkan kebanggaannya pada perempuan itu. Dalam hati Taris cukup merasa puas akan kehebatan riasan tangannya sendiri.
Berbeda dengan Deva dan Lukman yang langsung lega karena merasa beban berat di tubuh keduanya tiba-tiba terangkat dan menghilang.
***
"Apa ku bilang, aku emang ahlinya dandan," Taris berujar bangga. Entah sudah berapa kali dia mengatakannya.
Kiera memegang tangan Taris sejenak lalu menuliskan sesuatu untuknya.
Saat Kiera selesai menulis dan membalik note itu, Taris tersipu hingga pipinya bersemu merah ketika membacanya.
"Sama-sama," jawab Taris pada Kiera.
"Terus sekarang gimana?" Deva menyela kehangatan diantara kedua gadis itu.
"Kita mau kemana? Apa diem-diem aja nih di mobil, terus aku ngemudi kayak gini sampai pegel?" Lukman menggerakkan setir mobil seraya menoleh pada Taris.
"Yash! Kita belanja daging dulu buat BBQ di rumahkku!" Taris bersemangat.
"Buat ngerayain kedatangan Nisa? Kan, dia datangnya kemarin, bukan tadi." Lukman sedikit ogah-ogahan.
"Jangan gitu sama calon adek ipar," Deva meledek.
"Ibu nggak akan marah-marahin kamu, kok. Lagian ibu nggak suka daging, jadi nggak bakalan deh ikut BBQ di belakang rumah." Taris mengelus puncak kepala lelaki berekspresi manyun itu.
***
Taris menghembuskan napas panjang sesaaat setelah menutup sambungan telepon di ponselnya.
"Kayaknya kita harus cepet-cepet pulang, Nisa marah mulu dari tadi. Sampai pegel bales chat sama angkat teleponnya," Taris memegangi kening pertanda lelah.Deva menunduk untuk melihat beberapa daging dan sosis yang sedari tadi di dorongnya dalam keranjang.
"Ini yang terakhir," Lukman meletakkan beberapa botol saus untuk digunakan nanti.
Mereka segera bergegas menuju kasir.
"Siapa yang bayar?" Deva menatap Lukman dan Taris bergantian.
Lukman segera menoleh ke arah lain, ia menghindari pertanyaan Deva rupanya.
"Kamu aja, deh. Sekali-kali," Taris berekspresi sok imut.
"Yang bener aja!" Deva tak setuju.
Ketiganya mulai berdebat meski antrean di belakang mereka masih panjang.
Sementara Kiera menoleh ke segala arah seolah mencari sesuatu, entah kenapa dia merasa ada seseorang yang mengawasi dirinya. Meski dia yakin samarannya tak akan terbongkar namun, firasatnya akan hal buruk mengganggu ketenangannya.
***
"Tekor, deh! Kalian tega banget sama temen sendiri suruh bayar belanjaan sebanyak ini, udah tau aku nggak kerja!" Deva menenteng plastik belanjaan sambil berjalan dengan kaki terseok menuju belakang rumah Taris.
"Makanya kerja!" Lukman dan Taris menimpali.
"Bodo, ah! Ngeselin lama-lama!" Deva berujar.
"Oh, ya!" Taris memekik. "Kembaran kamu mana? Dia nggak ikut?" ia menepuk pundak Lukman.
"Lukas?" Deva ikut menyahut.
"Lukas pergi ke studio rekaman lagi," Lukman menanggapi ogah-ogahan, sepertinya dia tak suka menjawab pertanyaan itu.
"Jangan berantem mulu, sama sodara sendiri juga," Deva menyarankan.
Kiera menaikan alis mendengar obrolan mereka, sekarang dia sedikit lebih mengenal mereka.
Brak!
Sesuatu terdengar jatuh di belakang mereka.Sontak mereka berhenti berjalan dan menoleh ke sumber suara.
Kiera semakin tak tenang, dia merasa seperti diikuti seseorang, tapi yang lainnya tak merasakan hal yang sama.
"Pasti kucing," Taris mendesis geli, dia memang phobia terhadap mahluk berbulu yang biasa disebut kucing.
"Ayo jalan lagi!" Deva mengomando, Taris dan Lukman berjalan di belakang Deva namun, Kiera tetap berdiri di sana. Dia memicingkan mata melihat ke sumber suara, dagunya mengeras karena tegang. Entah apapun itu sungguh membuat Kiera semakin tidak tenang.
"Ra?!" Deva memanggil, membuat gadis itu segera menoleh dan berjalan menyusul.
***
"Jadi bener dia itu Kiera Zee?" Tanya perempuan berkulit putih dan bermata cokelat itu kepada seseorang yang mengenakan penutup kepala.
"Ya, tapi jangan bilang ini ke siapa pun! Ini bakal ku urus sendiri," seseorang dengan suara berat dan berbadan cukup tinggi itu mengeluarkan sesuatu di saku jaket. "Ini bagianmu. Setelah ini lupain kita pernah kerja sama." Lelaki itu memberikan amplop warna cokelat di tangannya pada gadis itu, setelah itu dia berjalan meninggalkannya.
***
Lagi nggak ada ide karena baru sembuh, hehe.
Tapi ku usahain buat next part-nya akan update secepatnya. Jadi tungguin aja, oke?!😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...