-Revisi-
Di dalam kamar, yang terdengar hanyalah isak tangis Reina. Ia hanya bisa menatap punggung Kiera menjauh darinya. Dadanya semakin sesak dengan napas lemah. Rasanya gemetar dan semakin takut. Ia bahkan tak sanggup berdiri di kakinya sendiri.
Menyedihkan.
Kiera yang berhenti di ambang pintu kembali bersuara, "Untuk sementara, Kak Reina bisa tinggal di apartement, tapi cuma untuk dua hari. Karena setelahnya, itu bukan milik Kakak lagi."
Belum sempat Reina mengangguk, tapi Kiera sudah berlalu pergi. Sedikitpun gadis itu tak menoleh ke belakang, seakan tiada keraguan saat meninggalkannya. Meski ada ketidak relaan, tapi ia tetap mengambil keputusan itu. Dan untuk kali ini, Kiera tak akan membuat kesalahan agar tak berakibat fatal nantinya.
Keesokan harinya.
Di salah satu kamar di rumah Kiera, Deva terbangun dari tidurnya. Ia menguap seraya menggeliat, badannya terasa ringan karena terlalu banyak tidur. Kini dia beranjak dari ranjang.
Dengan langkah teratur ia melangkah menuju kamar mandi di sudut kamar. Sampai di dalam, sejenak ia mengguyur wajahnya agar terasa lebih segar. Tak lupa ia mengambil sikat gigi di kamar mandi. Sepertinya benda berbulu itu masih baru, membuat Deva sejenak memperhatikan benda sederhana yang terlihat mahal di tangannya. Mewah sekali, begitulah pikirannya terbentuk.
Padahal ini cuma sikat gigi, Deva membatin.
Cepat-cepat ia menggosok gigi lalu menaruhnya kembali.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu kamar.
Deva yakin itu Kiera. Lantas saja dia berjalan menuju pintu setelah mengusap wajahnya dengan handuk di pintu kamar mandi.
"Selamat pagi?!" sapa Deva dengan senyum terbaiknya. Ia menatap Kiera takjub karena penampilan cantiknya hari ini. Terlihat begitu formal dari biasanya. Anggun sekali.
Sangat berbeda dari biasanya.
"Mau kemana?" Deva melihat Kiera dari atas ke bawah. Tanpa sadar ia mengangkat kedua alisnya saat melihat sepasang sepatu warna putih berhak tinggi yang dikenakan Kiera. Ditambah lagi gadis itu mengenakan pakaian yang terlihat berkelas. Dia bahkan tak yakin yang di depannya adalah Kiera yang sama.
Dengan senyum menawan, Kiera membalas pertanyaannya. Lalu, tanpa berkata apapun Kiera menarik tangan Deva dan menggeretnya sampai di ruang depan.
"Kamu kayak-"
"Aku tahu," potong Kiera mengagetkan Deva.
Deva mengerjap bingung. Sekarang otak geniusnya sedang bekerja mencerna apa yang baru saja didengarnya. Sungguh, ia tak menyadari kalau Kiera sendiri sudah bisa bicara, sejak kapan dia bisa bicara?
Mengejutkan sekali untuk lelaki yang satu ini.
Deva membuka mulut namun, ragu untuk berkata. "K-kamu bisa ngomong?"
Kiera terkekeh karena Deva terbata-bata. Ekspresinya sangat polos dengan mata belo seperti itu, sepertinya Kiera masih belum terbiasa melihat wajah menggemaskan Deva.
"Iya, aku udah sembuh," kata Kiera. "Kamu mau tahu sesuatu lagi?"
Deva mengangguk ragu, kini ekspresinya semakin tak karuan anehnya. Dia benar-benar tak tahu harus berekspresi atau berkata apa karena dia sendiri masih terkejut melihat apa yang terjadi pada gadis itu.
"Aku udah kembali kayak dulu lagi, aku bakal tinggal di sini, kembali ke hidup aku yang sebelumnya, dan bisa nyanyi lagi."
"Wow," lirih Deva seperti terkesima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...