-Revisi-
"Woi, berhenti!" Deva berseru tanpa menghentikan larinya, sejak sepuluh menit lalu dia terus mengejar seseorang berjaket hitam yang saat ini berlari tak jauh darinya.
Seseorang itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, ia tampak kuwalahan diburu Deva. Seseorang itu terlihat berhati-hati memegang kamera ditangannya. Seakan terlalu takut jika sampai menjatuhkannya.
Sampai di tepian jalan raya sebuah mobil hitam berhenti, di dalamnya ada lelaki bertopeng yang membukakan pintu. Tanpa menunggu aba-aba lagi seseorang berjaket hitam itu segera masuk dan memelesat bersama mobil hitam itu. Ia berhasil melarikan diri dari kejaran Deva.
Kini Deva yang hampir kehabisan napas hanya bisa membungkuk sambil menatap penuh curiga.
Dengan penuh laknat Deva mengumpat orang itu, merasa tiada hasil dia memutuskan kembali pulang. Jujur saja ia merasa begitu tak tenang dan gelisah. Dia yakin seseorang itu adalah wartawan atau sejenis itu, ia takut seseorang itu akan membuat berita tentang Kiera. Itulah yang membuatnya semakin tak tega membiarkan Kiera dalam kesendirian. Ia tahu ini terasa sulit untuk Kiera, tapi dia sungguh tak tahu caranya agar gadis itu tetap aman dari orang yang terus memburunya. Dia teringat beberapa tulisan dari note Kiera yang pernah dibacanya ketika gadis itu tertidur.
Dia lelah bersembunyi, lelah menutupi wajahnya, dan dia sangat ingin bebas dari keterpurukannya sendiri, batin Deva penuh empati.
Deva mempercepat larinya membiarkan air gerimis menerpanya. Dia tak tahu apa yang dirasakannya saat ini, akan tetapi dia hanya tak ingin melihat gadis itu tersakiti, terlebih mengingat kejadian kemarin di saat Kiera hampir dikeroyok tetangganya. Dia bahkan masih mengingat Kiera yang gemetaran dalam pelukannya, terlihat sangat rapuh dan teramat lemah. Sungguh, dia tak dapat membayangkan hal buruk apa yang dulu dilalui Kiera sampai membuat gadis itu ketakutan sedemikian rupa, begitu takut hingga tak berani menampakkan wajahnya kepada dunia.
Tak terasa akhirnya Deva sampai di depan rumah, dia berhenti sembari menatap pintu, susah payah Deva mengatur napasnya yang memburu, "Aku nggak akan tega mencari tahu apa yang kamu lalui selama ini. Tapi demi kebahagianmu akan ku coba mencari tahu di masa lalumu, mungkin ada jalan keluar di sana."
***
Kiera sempat berlari menyusul ke depan rumah saat Deva mengejar sosok mencurigakan itu, dia sempat melihat sosok itu memegang kamera di tangannya.
Kiera merasa kembali tercekik mengingat kejadian hari ini, sudah pasti firasatnya benar jika ada yang mengikutinya namun, dia terlalu mengabaikannya karena merasa sedikit aman. Dan setelah ini dia amat yakin akan ada berita pahit lagi tentang dirinya, tak akan ada lagi tempat untuknya di sini. Padahal dia sudah memberanikan diri ikut berkumpul dengan Deva dan yang lain agar sedikit merasakan sesuatu yang dinamakan hidup normal. Tapi sekali lagi Kiera merasa ditarik oleh kenyataan dan menyadarkannya jika semua yang sudah hancur tak akan kembali utuh. Tidak akan pernah.
Kini dia hanya bisa meringkuk dalam selimut dengan memejamkan mata, dia berusaha untuk tak menangis mengingat kehancurannya. Meski mendengar ketukan pintu kamar dari luar namun, dia mengabaikannya. Dia tahu Deva berusaha mengajaknya bicara, tapi sekali lagi Kiera menganggap semuanya sama saja, tak ada seorang pun yang dapat menolongnya dari kegelapan itu, termasuk Deva.
Deva masih berusaha mengajaknya bicara, dia ingin gadis itu keluar dari kamar agar tak merasa semakin tersiksa sendirian.
Sudah berkali-kali tangannya mengetuk pintu, tapi pintu itu belum juga terbuka untuknya, membuat lelaki itu mengghela napas lelah seraya menurunkan tangannya dari pintu. Sedetik kemudian dia teringat sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...