-Revisi-
Deva sedang makan malam bersama Kiera, tapi baru saja keduanya selesai makan, Taris memasuki rumah Deva dengan napas memburu, raut gelisah tercetak jelas di wajahnya.
"Kenapa, Ris?" tanya Deva.
Kiera menatap gadis itu sambil mendekat, padahal biasanya dia akan segera mencuci piring setelah makan.
"Lukas masuk rumah sakit. Dia jatuh dari balkon," matanya berkaca-kaca.
"Lukas jatuh?!" Deva terkaget.
Kiera terbelalak kaget mendengarnya.
***
Derap langkah kaki Deva, Kiera, dan Taris terdengar bergemuruh di lorong rumah sakit, mereka menyusuri lorong mencari ruang rawat Lukas. Begitu sampai di nomer ruangan yang dimaksud, mereka langsung menemukan Lukman berdiri di depan ruangan bersama Tika.
"Lukman?!" Taris memanggil, ia langsung memeluk Lukman dan hampir menangis. "Kamu yang sabar, ya?"
Lukman mengangguk di bahu Taris, ia benar-benar lega karena adanya Taris di dekatnya. Entah kenapa perasaannya menjadi lebih tenang dari sebelumnya, padahal sebelumnya ia hanya menjadikan Taris sebagai pelariannya saja. Tapi kali ini terasa berbeda. Gadis itu mampu membuatnya menjadi seseorang yang lebih baik, bahkan ia sudah tak pernah minum-minum atau merokok lagi. Jujur, Itu perubahan yang baik untuk dirinya. Sekarang ia benar-benar merasa bahagia bersama satu gadis saja, yaitu Taris. Sungguh ia merasa beruntung memiliki gadis seperti dia.
Lukman menitikkan air mata di bahu Taris. Ia tak bisa menahannya lagi rupanya.
"Sabar, Man," Deva menepuk pelan punggung Lukman, berusaha menenangkannya.
Sementara Kiera berusaha menenangkan Tika dengan memeluknya, dielusnya lembut kepala gadis itu.
"Aku sayang Kak Lukas, aku nggak mau dia kenapa-kenapa," Tika berujar sambil memeluk Kiera erat.
Kiera mengangguk mengerti, ia mempererat pelukannya.
Aku yakin, Lukas akan baik-baik aja, batin Kiera.
"Dimana Tante sama Om, Man?" tanya Deva.
Lukman melepas pelukannya dari Taris. Ia menoleh pada Deva, "Mereka di ruangan dokter. Katanya, Lukas harus dioperasi."
"Lukas masih belum sadar juga?" Taris gelisah.
Lukman menggeleng lemah, "Belum."
Setelah pembicaraan singkat itu, mereka hanya diam saja, sepertinya karena terlalu larut dalam kesedihan. Bahkan meski hingga hampir pukul sebelas malam, tiada yang berniat pulang ataupun tidur, kini mereka semakin kuatir karena Lukas dibawa ke ruangan khusus.
"Lukman, kamu makan dulu sana di kantin, ajak Tika juga," suruh Mamanya. Mata beliau terlihat sembab dan masih berair.
"Kamu belum makan?" Taris menanyai Lukman namun, Lukman diam saja dengan mata sayu. Ia beralih menatap Tika karena Lukman enggan menjawab.
"Belum, Kak Taris. Kita semua belum makan," Tika berujar.
Deva menghela napas, "Tante makan aja dulu, Om juga," ia menoleh ke arah Papanya Lukman. "Biar Deva sama Ra yang jagain Lukas."
Kiera mengangguk menyetujui.
"Tapi-"
"Makan dulu, Om, Tan," Deva membantu lelaki paruhbaya itu berdiri dari tempat duduknya. "Man?" Deva menoleh pada Lukman, berniat meminta bantuannya.
"Ayo, Ma, Pa."
Bersama Taris, Lukman, kedua orangtua Lukman, dan Tika berjalan menuju kantin, meninggalkan Kiera dengan Deva di kursi tunggu.
Kini hanya hening yang menyelimuti keduanya, udara dingin menerpa kulit mereka, bahkan nyamuk tanpa henti berputar di telinga Deva dan Kiera.
Plak!
Deva menepuk nyamuk di pipi kirinya."Banyak banget nyamuknya, perasaan kita nggak pacaran deh," Deva berceletuk.
Kiera menahan senyumnya sembari menoleh ke arah lain, padahal ia sudah mengenakan masker, tapi masih saja takut ketahuan jika menertawakan lelaki itu.
"Kamu nggak digigitin nyamuk?" Deva menoleh Kiera.
Gadis itu menatap Deva lalu menggeleng. Mungkin karena Kiera mengenakan celana sebatas mata kaki dengan pakaian rajut berwarna putih, makanya terbebas dari nyamuk. Sepertinya dia sudah mempertimbangkannya sebelum berangkat kemari.
"Kamu kedinginan?" Deva memperhatikan Kiera yang sedang memeluk diri sendiri. Kini Deva menyesal karena tak membawa jaket.
Kiera mengangguk kecil, tapi sedetik kemudian ia menatap wajah Deva dengan pandangan terlalu teliti mungkin? Perlahan wajah Kiera mendekat, ia sampai tak memperhatikan sikap kikuk Deva.
Deva yang merasa Kiera akan melakukan sesuatu yang iya-iya segera menutup mata. Apa Kiera mau menciumku? Begitulah pikirannya terbentuk. Mungkin karena dia salah kira, berpikir bahwa Kiera memandangi bibirnya. Sungguh mesum sekali bukan? :v
Kini Kiera mengangkat tangannya dan ...,
Plak!
Satu pukulan mendarat di dagu Deva.Deva mengaduh sakit, sementara Kiera mendongak menatap Deva. Sekarang keduanya berada dalam jarak yang terlalu dekat. Sekejap saja suasana menjadi senyap, bahkan keduanya bisa saling mendengar degupan jantung masing-masing. Tapi sepertinya Deva dan Kiera berada dalam ketegangan tinggi hingga mengakibatkan keduanya membeku dalam posisi itu.
Deva sampai menahan napasnya karena terlalu gugup. "Kamu barusan ngapain?" tanyanya polos.
Kiera mengerjap dan segera tersadar, ia memundurkan badannya seperti semula. Tangannya terangkat menunjukkan nyamuk di telapak tangannya.
Deva menjatuhkan pandangannya di sana. Kini ia tahu Kiera hanya menepuk nyamuk itu, bukan untuk menciumnya. Lagipula untuk apa pula Kiera menciumnya? Untuk kesekian kalinya Deva mengakui kebodohannya sendiri.
Kiera melihat raut lesu di wajah Deva, susah payah ia menahan tawanya. Sangat lucu melihat ekspresi Deva yang seperti itu, terlihat begitu menggemaskan dari biasanya.
Bruk!
Suara jatuh terdengar di dekat Kiera dan Deva.Kiera menoleh dan tanpa sadar berdiri karena melihat Lukas tersungkur di lantai.
"Lukas?!" Deva berseru, ia segera berlari menghampiri.
Kiera mengekor di belakangnya dengan langkah terburu-buru.
"Kenapa kamu keluar?" ada kelegaan dalam benaknya karena melihat Lukas kembali sadar, tapi ia tak suka melihat Lukas seperti ini. Lelaki itu berusaha melarikan diri, bagaimana Deva memahami dengan sikap Lukas yang seperti ini? Terlalu keras kepala, padahal seharusnya Lukas berdiam diri di ruang khusus itu.
"Ayo masuk, kenapa infusmu dicopot? Kan berdarah jadinya!" Deva sedikit kesal, tapi masih berusaha memapahnya.
Kiera tak bisa berdiam diri saja, ia segera membantu Lukas berjalan.
"Lepas!" Lukas meronta, "aku mau pergi."
Bukannya kuatir yang ditujukan Deva untuknya, tetapi lelaki itu malah menjitak kepala Lukas dengan begitu indah.
Plak!
"Pergi?! Sembuh dulu baru boleh pergi! Gimana sih!" Deva kembali memapahnya, ia bahkan tak mempedulikan Lukas yang sempat mengadu sakit karenanya.
Tapi kalau tidak keras kepala, bukan Lukas namanya. Lelaki itu menyentak tangannya dari Kiera hingga terlepas, ulahnya itu hampir saja membuat Kiera jatuh kalau gadis itu tak sigap bersandar di dinding.
Deva sampai mendelik melihat tingkah kasar Lukas. "Kenapa sih, Kas?!"
"Lukas!" Suara familier terdengar dari arah lain, terdengar begitu tegas dan berwibawa. Tanpa menoleh pun mereka tahu siapa pemilik suara itu.
Langkah kaki mulai mendekat dengan tatapan tajam yang mengintimidasi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...