Cinta?

1.9K 113 0
                                    

-Revisi-

"Selamat tahun baru, Ra."

Suara Deva hampir tak terdengar sebab terkalahkan suara kembang api. Banyak letusan kembang api yang terdengar di waktu bersamaan. Langit gelap pun tampak cantik berbingkai cahaya kembang api, beruntung malam ini hujan tak turun seperti biasanya. Membuat langit terlihat semakin indah untuk dipandang. Indah sekali.

Sementara Kiera meski dirinya mendengar ucapan Deva dengan jelas, tetapi ia tak bereaksi apapun sambil menatap lelaki itu, pandangannya kosong dan terkunci pada kedua mata Deva. Ia seolah ditarik kembali ke beberapa tahun silam hingga membuatnya teringat kenangan di malam tahun baru bersama kakaknya. Senyuman yang terukir di wajah Deva mengingatkannya akan senyuman bahagia kakaknya kala itu. Jika saat itu ia ikut tersenyum bila disuguhkan senyuman seperti itu, maka kali ini sangat berbeda. Senyuman tak akan terbingkai lagi di wajahnya, apalagi jika mengingat masa lalu.

Senyum Deva perlahan memudar melihat ekspresi Kiera yang berubah sendu. Tanpa sadar ia mendekat dan menggenggam jemari gadis itu.

Kiera sedikit terjingkit menerima perlakuan Deva, membuatnya seketika tersadar pula dari lamunannya. Ia menarik tangannya hingga lepas dari Deva, meski gerakannya lemah namun, bisa membuatnya terbebas dari cekalan tangan lelaki itu karena Deva sendiri tak menggenggamnya terlalu kuat. Mungkin karena Deva tahu jika Kiera sedang tak ingin disentuh siapa pun termasuk dirinya.

"Nggak suka lihat kembang api?" Deva terlihat berhati-hati dalam ucapan mau pun sikapnya. Senyumannya terukir lembut tertuju pada Kiera.

Saat itu juga Kiera meneteskan air mata, bukan karena mendengar ucapan Deva namun, karena melihat senyuman lelaki itu. Melihatnya tersenyum hanya akan mengingatkannya pada kepalsuan yang pernah dialami Kiera.

Air matanya semakin deras, ia seperti disayat lagi di tempat yang sama, sayatannya semakin mengoyak luka lama gadis itu dan mengakibatkan lukanya semakin parah. Ia tak tahu kenapa ia menangis setiap mengingat masa itu. Masa dimana dirinya hanya melihat kebahagiaan dirinya dan kakaknya tanpa tahu pasti apakah senyuman dan perlakuan kakaknya itu nyata atau hanya sandiwara. Sungguh perih mengingat itu, kian lama ia mencoba melupakan setiap ingatannya namun, sekuat apapun, sebisa apapun, atau setegar apapun ia berusaha tetap saja sangat sulit melupakan sesuatu yang pernah ia lalui. Layaknya tak mampu mengingat seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya, seperti menghapus coretan pena dalam kertas putih. Semua terasa menyulitkan dirinya, menyesakkan dada hingga membuatnya menyerah sebab tak tahu harus berbuat apa. Ia terlalu lemah sehingga tak sanggup melupakan kenangannya yang merupakan separuh dari isi hidupnya.

"Apa aku salah lagi? Ra, aku minta maaf," tutur Deva lembut. Ia mengusap air mata di pipi Kiera dengan ibu jari. Mengusapnya selembut mungkin agar gadis itu tak merasa risi padanya.

Sekali lagi Kiera mengelak darinya, ia mundur satu langkah sambil tetap menatapnya, tatapannya nanar dengan mulut terkunci.

Melihat Kiera seperti itu hampir membuat Deva berlari padanya lalu memeluknya erat. Sungguh pemandangan yang sangat menyiksa batinnya. Ingin sekali ia mendengar suara Kiera sedikit saja, satu kata saja sudah cukup, tetapi hal itu mustahil baginya mengingat sikap Kiera yang seakan terlalu membencinya tanpa alasan yang ia tahu pasti.

"Kamu bisa ngomong sesuatu ke aku kalau kamu mau."

Kiera tetap bungkam, sedetik kemudian gadis itu berbalik dan berlari meninggalkannya.

Deva mengerang tertahan sambil menarik rambutnya. Ia sangat frustasi dan lelah menghadapi situasi seperti ini.

"Apa salahku, Ra?" ucapnya lirih. Ia segera berlari menyusul Kiera.

Sampai di depan kamar ia berdiri di sana. Pintunya tak ditutup memudahkannya mengetahui gadis itu sedang apa. Ia memicing kala melihat gadis itu memasukkan seluruh barang-barangnya ke dalam koper, sedetik kemudian matanya membulat begitu sadar gadis itu berniat pergi dari rumahnya.

Kontan saja Deva memasuki kamar, "Kamu mau kemana?"

Kiera tersentak mendengar suara Deva sampai membuatnya berhenti sejenak.

"Mau pergi lagi?"

Kiera mendengarnya namun, tetap acuh. Ia lebih memilih melanjutkan memasukkan barang-barangnya. Ia juga mengusap air matanya agar tak menangis lagi.

"Mau pergi kemana, Ra?" Deva sudah berdiri di belakang Kiera. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Kiera namun, terhenti dan ia menarik kembali tangannya ke samping tubuh.

"Ra?"

Kiera tetap acuh. Selesai berkemas ia menyeret kopernya dan bersiap pergi, tetapi langkahnya terhenti begitu melewati Deva. Tentu saja ia dihentikan lelaki itu. Tangannya dicengkram kuat olehnya. Ia sampai tak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.

Gadis itu menatap Deva dengan amarah tertahan.

"Kamu bisa tampar aku, bisa pukul aku, atau terserahlah, tapi kamu jangan pergi. Kamu mau kemana malam-malam begini? Dan meskipun kamu pergi, aku nggak bakal kasih ijin."

Lagi-lagi Kiera menyentaknya namun, tetap saja tak bisa lepas dari Deva.

"Kamu kenapa sih? Kenapa selalu diem aja? Kenapa selalu acuhin aku? Salah aku apa, Ra?" Deva menatapnya tak percaya.

Kiera mendengus dan tertawa kecil, tertawa mencibir, ia tak mengira Deva masih berpura-pura tak berdosa di depannya meski tahu dirinya akan pergi setelah ini.

"Sekali aja kamu ngomong, Ra," Deva menatapnya lelah.

Tapi Kiera tak ingin lebih lama lagi tertahan di sini, ia menghempaskan tangan Deva sambil menatapnya tajam mendandakan dirinya tak suka dengan perlakuan Deva atas dirinya.

"Aku bakal lepasin kalau kamu jawab pertanyaan aku. Setuju?"

Kiera tak menjawab namun, raut wajahnya berubah tenang lalu membuang muka saat Deva menatapnya memohon.

Perlahan Deva melepas cekalan tangannya.

"Kenapa kamu acuhin aku?" tanya Deva langsung ke intinya.

Kiera beralih menatapnya lalu menulis sesuatu, kemudian ditunjukkan padanya.

Masih pura-pura nggak tahu lagi?

Deva mengerutkan dahi heran.

Kiera menuliskan sesuatu lagi dan  diperlihatkan pada lelaki itu.

Kamu dibayar berapa sama orang itu? Udah dibayar masih butuh aku? Bukannya berita tentang aku udah tersebar? Buat apa lagi kamu minta aku di sini lebih lama lagi?

Kali ini Deva tak dapat berkata apapun, mulutnya terbuka namun, suaranya tertahan karena ragu untuk menjawab pertanyaan yang sama sekali tak dipahami olehnya.

Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kiera berbalik dan hendak beranjak pergi, tetapi gerakkan Deva yang lebih cepat darinya membuat Kiera kembali tertahan sehingga dirinya hanya bisa berdiri di tempatnya sambil meronta.

"Please, jangan pergi," Deva memohon setelah memutar tubuh Kiera menghadap padanya.

"Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, sama sekali nggak ngerti," ujar Deva jujur. "Orang itu yang kamu maksud itu siapa? Bayar aku untuk apa?"

Kiera mendengus kecut, sangat terlihat jelas jika ia tak mempercayai setiap kata yang diucapkan Deva.

"Kamu nggak percaya?" Deva memegang kedua lengan Kiera, menatap gadis itu dengan tatapan serius. "Kenapa kamu nggak percaya sama aku? Aku jujur sama kamu, aku nggak pernah bohongin kamu sekali pun, aku juga nggak pernah sembunyiin sesuatu dari kamu. Kamu tahu kenapa? Karena aku suka sama kamu."

Kiera mengerjapkan mata mendengar kalimat terakhir. Ia tak mengira Deva mengatakan itu padanya.

"Karena aku jatuh cinta sama kamu."

***

Lagi nggak? Okay, besok yak?! 😊 👋

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang