Di ruang tamu yang sedikit kotor, Taris duduk bersama Ibunya dan Nisa. Suasananya terkesan kikuk, suram, juga serba sungkan. Taris hanya diam saja sambil menoleh ke arah lain, Nisa memainkan jemarinya, sementara Bu Asta memijati keningnya sendiri, sepertinya beliau begitu pusing akan keadaan yang dirasa semakin kacau. Masing-masing dari mereka tak ada yang berani memulai bicara, seakan terlalu takut jika nantinya salah berkata.
Di antara keheningan mereka, yang terdengar hanyalah gema suara pukulan palu berasal dari dapur. Maklum saja, renovasi memang membutuhkan waktu yang lama. Bahkan meski tak nyaman mendengar suara berisik itu ketiganya hanya diam saja tanpa beranjak dari sofa.
"Siapa yang mau jelasin?" pada akhirnya Taris angkat bicara dengan menatap sekilas ibunya lalu kembali menoleh ke arah lain.
Bu Asta menghela sejenak sambil menatap Taris. Meski gadis itu tak sedang menatapnya, tapi beliau tetap bicara sambil menatapnya.
"Bukan maksud Ibu buat rahasiain ini-"
"Dua puluh tahun, Bu!" potong Taris masih kesal. "Selama itu nggak ada salah satu dari kalian yang mau kasih tahu Taris. Kenapa?!"
"Taris, ini salah-"
"Aku nggak ngomong sama kamu!" Taris memotong ucapan Nisa.
Dan benar saja, Nisa langsung bungkam dengan perasaan sakit seperti dihantam ribuan anak panah di jantungnya. Ia menyesal, merasa bersalah dan tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri.
"Ini salah Ibu!" Bu Asta memekik sembari menatap kedua putrinya. Matanya berkaca-kaca menatap keduanya. Sambil menepuk dada dua kali ia menahan tangis, rasanya sesak sekali melihat anak-anaknya tak akur seperti ini.
Taris dan Nisa sampai tak tega melihatnya, meski begitu baik Taris atau Nisa tak berani menyela perkataannya.
"Ibu terlalu takut kalau kamu nggak terima semua ini, Nak." Bu Asta berterus terang. "Sama kayak Nisa sebelumnya. Dia nggak terima kalau kalian bukan saudara kandung."
"Apalagi aku bukan anak kandung Ibu. Aku cuma orang lain," Nisa berujar lirih.
Bu Asta tersentak mendengarnya, dan Taris pun tak kalah terkejutnya sampai menoleh pada Nisa dengan wajah geram yang begitu ketara.
"Kenapa kamu bilang gitu?! Kita tetep saudara Nisa, Ibu sama aku nggak pernah dan sampai kapan pun nggak bakal bilang kalau kamu bukan keluarga kita," Taris mendekat padanya. Dielusnya punggung Nisa dengan gerakan teratur. Sungguh, menyesal rasanya sempat membentaknya tadi.
Bu Asta menitikkan air mata. Ada rasa haru yang menyelimuti namun, terasa hangat karena tanpa adanya rasa sakit di benaknya. Menyenangkan dan begitu menenangkan hatinya. Lama sekali rasanya ia merasakan ini, mungkin karena terlalu jarang baginya melihat kedua putrinya berkumpul bersama. Ia bersyukur memiliki kedua anak gadis yang bisa menyayangi satu sama lain. Bahagia rasanya menjadi Ibu untuk Taris dan Nisa.
"Tapi kenyataannya aku anak orang lain. Bahkan aku dibuang sama Mamaku sendiri. Aku beruntung punya kalian-"
"Nisa," panggil Bu Asta cepat, sepertinya ia tak ingin mendengar Nisa berbicara lagi tentang sesuatu yang tak seharusnya dikatakan.
Kini keduanya menoleh bersamaan. Bu Asta menyeka air mata di pelupuk mata.
"Kamu tahu? Dulu Ibu seneng banget waktu ngurus kalian berdua. Kalian cuma beda setahun, kalian lucu kayak anak kembar, kemana-mana bareng, pakaian kalian selalu sama. Bahkan kalau salah satu nangis, satunya juga ikutan nangis," Bu Asta terkekeh kecil seakan merindukan masa itu.
"Taris, dulu Ibu lihat Nisa di tempat pembuangan sampah," suaranya bergetar menahan tangis.
Taris merasa teriris mendengar ucapan Ibunya. Matanya berkaca-kaca tanpa sanggup berkata apa-apa. Dadanya semakin sesak kala mendengar setiap kata yang diucapkan Ibunya.
"Waktu itu udah subuh, Ibu mau belanja tapi kebetulan lewat di tempat itu. Nggak ada cahaya sama sekali kecuali cahaya api, tapi mendadak Ibu jatuh karena sendal Ibu putus. Dan saat itu juga Ibu lihat Nisa. Dia tidur pulas banget di keranjang bayi. Nisa sampai hampir terbakar kalau Ibu nggak cepet-cepet gendong dia."
"Ibu,..." panggil Nisa, suaranya terlalu lirih hingga hampir tak terdengar, ia mendekat dan seketika memeluknya erat, "..., terima kasih. Terima kasih udah selamatin Nisa. Nisa sayang sama Ibu."
Hatinya tersentuh mendengar ucapan Nisa, Bu asta mengelus kepalanya penuh sayang. Ia sangat menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri. Bahkan sedikit pun dia tak pernah membandingkan antara keduanya.
Taris berderai air mata dan tak sanggup berkata apa pun lagi. Segera saja ia menghambur memeluk Ibunya dan Nisa erat. Merangkulnya seakan sudah lama tak bertemu dengan keduanya. Hangat rasanya memeluk Ibunya dan Nisa seperti ini.
Dan kali ini rasanya ia benar-benar menyesal sempat menyalahkan Nisa dan Ibunya. Bahkan ia merasa tak pantas menghindari keduanya mengingat dia tak mengetahui apa pun tentang ini. Ia merasa bodoh karena terlalu menuruti egonya sendiri. Merasa marah seolah dirinya tahu segalanya dan benar dalam hal apa pun, seakan dia dipihak yang di sakiti padahal tidak sama sekali. Sungguh, Taris menyesal dan merasa malu.Bu Asta mengelus kedua putrinya dalam haru. Ia lega sekarang, merasa seakan bahunya tak lagi berat karena sudah melepaskan semuanya. Semoga semuanya selesai, semoga akan semakin membaik lebih dari ini. Dan semoga, tak ada lagi kesalah pahaman di kemudian hari.
Mungkin masa lalu bisa berlalu begitu saja namun, itu bisa menjadi memori penuh kenangan. Sedih, kecewa, bahagia, tawa, maupun tangis, tapi dari itu semua Bu Asta berharap tiada perpisahan dalam keluarga kecilnya walau hari ini akan menjadi masa lalu di kemudian hari. Ia hanya orangtua tunggal yang rela berjuang sendiri demi kedua anaknya. Selebihnya ia mencintai keduanya, bahkan tak membutuhkan sosok lelaki di sampingnya. Mungkin terlihat mudah, tapi jangan meremehkan kekuatan seorang wanita apalagi seorang Ibu. Dia adalah manusia kuat yang selalu menggenggam tangan anaknya semenjak kecil hingga tumbuh besar. Karena itulah beliau bangga dipanggil sebagai Ibu.
"Bu?" panggil Taris setelah melepas pelukannya.
"Apa?" suaranya terdengar lembut. Ia melepas pelukannya dari Nisa pula.
"Katanya dulu Nisa dibuang, tapi kenapa kemarin aku denger Ibu ngomong tentang Mamanya Nisa?"
Nisa menatap Taris dan Ibunya bergantian, sementara itu Bu Asta menahan diri agar tak kesal. Sebenarnya membahas mahluk yang tak tahu diri itu kerap kali membuatnya geram.
"Dia mau ambil hak asuh Nisa. Tapi itu dulu, sekarang tiap kali Nisa pulang ke rumah, Si mak Lampir kurus itu minta ketemu Nisa. Kalau udah gede aja, minta anaknya dikembaliin. Dia pikir Ibu mau apa kasih anak Ibu sendiri ke orang nggak punya malu kayak dia?! Kesel!" Bu Asta membalasnya dengan nada kesal dan ngedumel tak jelas. Untung saja keduanya mudah memahaminya karena sudah terbiasa dengan cara bicara beliau. Lucu sekali melihat ekspresi beliau ketika sedang kesal seperti ini.
Taris dan Nisa yang sudah gemas langsung saja memeluknya hangat. Semakin erat dan menikmati suasana bahagia ini bersama. Menyenangkan.
***
Tinggal 4-5 part lagi, tapi kenapa rasanya nggak mood lanjut yak? 🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...