-Revisi-
"Kamu beneran nggakpapa aku tinggal pulang?" tanya Deva saat mendaratkan Kiera di kasur kamar kosan.
Kiera mengangguk pelan, ia lega bisa kembali ke kamarnya, tatapannya terlihat kosong dan begitu rapuh. Jujur saja dia masih sedikit takut akan kejadian yang baru saja terjadi namun, Kiera beruntung sempat ada Bu Asta yang datang menolongnya.
Ia tak tahu bagaimana keadaan di luar jika dia bertemu mereka lagi, Kiera merasa riwayatnya sudah tamat. Kiera tak bisa tenang sampai berpikir harus berpindah tempat tinggal lagi.
"Aku panggilin Bu As-"
"Apa panggil-panggil?" yang dibicarakan tiba-tiba muncul dan mendekati keduanya.
"Gini Bu As-"
"Itu kakinya kenapa?!" potong Bu Asta lagi seraya menatap tajam pada Deva. "Kamu apain Ra sampai kayak gitu?!"
"Ini kena pecahan beling di rumah kemarin-"
"Astaga! Kok, bisa?!" beliau memotong lagi. "Makanya rumahnya dibersihin, Deva!" Bu Asta menjewer telinga Deva.
"Aduh! Sakit Bu," ia sampai berjinjit mengikuti tarikan di telinganya.
"Dia kan jadi susah jalan, dia sendirian lagi. Udah, sekarang bawa dia ke rumahmu, rawat dia sampai sembuh. Sekalian bersihin juga rumahmu nanti!"
Kiera melemas seketika saat mendengarnya. Jika bisa bicara, mungkin dia langsung menolaknya, tapi sekali lagi dia tiada daya untuk melakukannya.
"Tapi Bu-"
"Sst!" Bu Asta memotong pembicaraan. "Dengerin dulu, Bu Asta tahu rumah kamu kayak gitu, tapi gimana, ya? Gini loh, Nisa kan nanti siang pulang dari China dan di rumah Bu Asta kan nggak ada tempat bersihnya, baru di renovasi kemarin. Jadi karena nggak ada kamar lain makanya Bu Asta pakai salah satu kamar kos, tapi karena sekarang kaki Ra luka gegara kamu, mending sekalian rawat Ra di rumahmu dulu. Sementara kamar Ra dipakai buat Nisa," jelas beliau panjang lebar. "Tenang cuma empat hari kok Nisa di sini."
Kiera menatap Bu Asta sejenak lalu menulis sesuatu dan menunjukkan tulisan itu padanya. Meski sebenarnya ingin menolak, tapi ia lebih memilih menurut saja agar tak mempersulit diri, kini ia akan mengucapkan terima kasih.
Untuk yang tadi Ra ucapkkan terima kasih, Bu.
Bu Asta tersenyum membacanya, "Santai. Di sini emang gini keadaannya. Dulu di sini banyak banget penggemarnya Kiera Zee, bisa dibilang mereka penggemar beratnya, makanya pas ada kabar nggak enak tentang dia, mereka langsung kecewa, Taris salah satunya," beliau tertawa kecil. "Tapi kalau dilihat-lihat sepintas kamu emang mirip sih sama Kiera."
Saat Deva melihat raut Bu Asta yang sedang menatap Kiera dari atas hingga ke bawah, Deva segera mendorong Bu Asta menjauh dari Kiera.
"Bu As, Deva bakal bawa dia ke rumah lagi. Serahin Ra ke Deva aja, sekarang Bu As bisa balik masak lagi." Deva tersenyum lebar.
***
Sedari tadi Kiera gelisah, ia sampai tak napsu makan karena terlalu memikirkan kejadian tadi pagi. Terlebih dia tak tahu apa yang harus dia lakukannya di sini selama empat hari, bersama Deva pula. Entah dia aman berada di sini atau tidak, tapi Kiera juga tahu jika tak mempunyai pilihan lain.
Kiera melirik Deva yang sedang memunguti pakaiannya di sofa, sebelum itu dia sudah memunguti sampah-sampah di lantai. Setelah ini Kiera tak tahu apa yang akan dia lakukan, tapi Kiera tahu jika Deva mulai kelelahan. Bersamaan dengan itu Kiera sedikit tak telaten melihat cara Deva membersihkan rumah, terlihat sangat kurang hati-hati dan terburu-buru. Bahkan sedari tadi Deva menjatuhkan beberapa barang di tangannya, ia memungutnya lalu benda itu jatuh lagi, terlihat begitu kuwalahan dan sangat tidak telaten.
Tangan Deva terlihat penuh dengan pakaian kotornya, meski ia tahu tangannya kelebihan muatan tetap saja ia berjalan menuju kamar mandi. Namun, naas saat berjalan melewati lemari tanpa sengaja kaki Deva terantuk tepian lemari, kontan Deva berteriak kesakitan, ia sampai melompat-lompat menahan sakitnya, dia juga tak sadar jika pakaian yang dibawanya tadi terhempas di lantai.
"Bego! Dasar kaki buta! Sialan! Kambing!" Deva mengutuk sepuas hati.
Kiera sampai kaget mendengar umpatan Deva, ia mencoba berdiri untuk melihat kondisi lelaki malang itu.
Ia berjalan sambil berpegangan di sofa, kakinya ditekuk ke belakang agar langkahnya lebih mudah. Dari kejauhan dia melihat Deva baru saja berhenti melompat dan mulai mengambil posisi duduk bersila, ia terlihat memandangi kakinya sambil memasang wajah kesakitan.
"Berdarah lagi. Bego!" Deva memukul lemari.
Kiera menatapnya iba, ia segera meraih kotak P3K di meja lalu berjalan mendekat sambil berpegangan pada dinding.
Tuk!
Suara kotak P3K diletakkan di lantai.Deva menoleh dan mendapati Kiera sedang berusaha duduk, ia kesulitan hingga Deva mengulurkan tangan.
"Ku bantu," ujar Deva sembari menatapnya.
Kiera menatap tangan Deva beberapa detik, meski terlihat ragu pada akhirnya Kiera duduk sambil berpegangan padanya.
"Jadi gantian, ya?" Deva tersenyum jail.
Seperti biasa Kiera hanya diam tak menanggapi. Tangan Kiera mulai mengangkat kaki Deva dan meletakkannya di paha, ia mulai mengobati luka itu. Lukanya tak terlalu dalam, tapi Kiera yakin luka itu akan menimbulkan bengkak nantinya.
Setelah selesai mengobati, Kiera mulai berdiri, saat hendak berbalik tangannya ditahan Deva membuatnya menoleh pada lelaki itu.
"Makasih, Ra," suara Deva terdengar riang beriringan dengan senyuman yang terukir manis di bibirnya.
Kiera menatapnya dalam-dalam seolah mencari sesuatu di dalamnya. Jujur saja dia tak tahu apa arti dari senyuman itu, tapi senyumannya begitu menenangkan, ia memang memutuskan untuk tak mempercayai siapa pun untuk sekarang namun, sepertinya hatinya berkata lain pada sosok lelaki di depannya.
Entah dorongan apa yang ada dalam benaknya hingga membuat Kiera menulis sesuatu yang tak disadarinya. Perlahan ia membalik note itu hingga dibaca oleh Deva.
Soal yang tadi aku mau bilang makasih, tapi kenapa kamu peduli sama aku?
Deva tersenyum menatapnya, "Nggak boleh peduli, kah?"
Dengan cepat Kiera menulis lagi dan menunjukkannya.
Mereka benci sama aku, makanya aku nggak mau buka maskerku biar mereka nggak pernah tahu siapa aku sebenarnya.
Deva mengernyit ketika selesai membacanya, untuk beberapa saat dia terdiam.
"Jadi itu yang jadi alasan kamu nutup wajahmu?"
Kiera lantas mengangguk.
Kamu boleh benci sama aku, batin Kiera.
"Kenapa juga harus benci sama kamu? Ra, aku punya pilihan tersendiri." Ucap Deva seakan bisa membaca pikiran Kiera.
Kiera tak menyangka kalimat itu yang dikatakan Deva, tapi yang jadi pertanyaan Kiera adalah alasan kenapa Deva tak benci padanya?
"Tapi tunggu dulu. Apa berarti kamu emang Kiera Zee?"
Kiera segera menulis beberapa kata lalu membalik note itu.
Tolong jangan kasih tahu siapapun. Janji?
Deva merasa seperti mendapat kepercayaan dari gadis itu, "Aku janji, Ra." Ia tersenyum menatapnya.
Kiera lantas melepas maskernya dan tersenyum tulus, dia sangat berterima kasih pada lelaki itu.
"Hei, kamu siapa?" Terdengar suara kaget di balik punggung Kiera membuat keduanya menegang seketika.
Deva menatap seseorang itu, dia tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya, "D-Dia... dia...." Deva melirik Kiera bingung.
***
Next masih proses guys! 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Roman pour AdolescentsTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...