Menangis

1.9K 105 0
                                    

-Revisi-

Suasana ramai terdengar di belakang Kiera dan Deva, memanggil Kiera dengan teriakan yang terdengar kesal. Kelihatannya mereka ingin mencabik Kiera jika sudah menangkapnya. Sungguh mengerikan meski hanya sekedar membayangkannya saja.

Sementara itu, Kiera terus digeret Deva dan masih melarikan diri bersamanya. Keduanya tak mengerti pikiran orang-orang ini, kenapa harus merepotkan diri dengan mengejar Kiera dan Deva? Apa mereka tak mengasihani kaki mereka sendiri?

Sampai di tikungan jalan sempit, Deva menarik Kiera masuk ke gang itu, ia tak tahu harus kemana lagi karena kakinya sudah lelah, Deva tahu gadis itu kepayahan pula namun, tak bisa mengatakannya secara langsung.

"Diem dulu, Ra," Deva menyembunyikan Kiera di belakangnya.

Kiera hanya mengangkat sedikit alisnya kala mendengarnya, ia merasa aneh sebab sepertinya kata itu tak tepat untuk Kiera yang memang tak pernah bicara.

Ia mendengar suara gemuruh yang kian mendekat, Deva yakin sebentar lagi mereka melewatinya. Benar saja, berbondong-bondong mereka berlarian ke jalan yang lumayan menurun itu, mereka tak menyadari keberadaan Kiera dan Deva di sana. Jika tahu entah apa yang akan terjadi pada keduanya.

"Kita udah aman," Deva menarik Kiera keluar dari persembunyian itu.

Tapi baru saja keduanya bernapas lega, seseorang dengan langkah gontai dengan wajah kelelahan berhenti di sana, menatap Kiera dan Deva dengan tatapan terkejut bercampur lelah, sepertinya ia tertinggal karena tak kuasa mengejar dengan badan gemuknya. Kontan saja seorang lelaki itu memanggil mereka dengan teriakan yang lumayan keras.

"Woi?! Mereka di sini!"

Tak banyak pikir lagi, Deva kembali menggeret Kiera. Bersama-sama keduanya berlari tanpa menoleh ke belakang. Deva begitu kuatir dengan Kiera, ia sampai tak berani melepas pegangannya dari tangan gadis itu.

"Di depan ada klinik, kita masuk ke sana," Deva menoleh pada Kiera. Telunjuknya mengarah pada sebuah bangunan berukuran kecil di sana.

Meski dengan napas memburu, Kiera tetap merespons ucapan Deva dengan anggukan pelan. Ia benar-benar lelah, mungkin akan segera ambruk jika sudah menemukan tempat duduk.

Sampai di klinik khusus gigi itu keduanya lantas masuk dan bersembunyi di sana. Deva sangat berharap Kiera benar-benar aman kali ini.

Ia menoleh pada gadis itu, "Maaf. Aku minta maaf."

Kiera yang masih kesulitan mengatur napasnya otomatis menoleh, kini ia membalas tatapan Deva dengan tatapan penuh tanya. Kiera sampai bertanya-tanya, untuk apa Deva meminta maaf?

Deva mendudukan Kiera di kursi tunggu, lalu merogoh masker Kiera di saku jaketnya, "Gara-gara aku, kamu jadi harus lari dari mereka," ia memberikan masker itu ke tangan Kiera.

Kiera beralih menatap masker itu lalu kembali menatapnya, ia hanya menggeleng kecil. Tentu saja Kiera tak membutuhkan ucapan maaf dari lelaki itu. Ia sudah terbiasa seperti ini meski selalu terasa menyebalkan. Tapi berlari bersama Deva merupakan hal yang menyenangkan, bahkan Kiera merasa aman, kini ia benar-benar merasa lega. Setidaknya ada yang menemaninya melarikan diri dari orang-orang itu, rasanya seperti memiliki seseorang yang begitu menyayanginya dalam keadaan apa pun.

"Permisi?" sebuah suara muncul dari belakang Deva, membuat Deva lantas menoleh.

Kiera hanya menegang di kursinya, ia sampai mengerjap beberapa kali karena dilanda kaget. Ia takut di belakang Deva merupakan salah satu dari orang yang tadi mengejarnya.

Deva yang paham situasi segera menyahut masker Kiera dan memakaikannya ke telinga gadis itu. Setelah itu ia berdiri memunggungi Kiera, bermaksud menutupinya.

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang