-Revisi-
"Karena aku jatuh cinta sama kamu."
Hampir saja air mata Kiera lolos kalau saja tak menahannya. Entah kenapa hatinya terasa teriris, bersamaan dengan itu degub jantungnya kian berdebar tak beraturan, lebih kencang dari biasanya, seolah jantungnya bisa keluar kapan saja dari tempatnya.
Sambil menatap Deva gadis itu mundur satu langkah agar terlepas darinya. Ia tak mengerti apa yang ada dipikiran Deva sampai berkata seperti itu. Apakah itu benar? Haruskah Kiera percaya? Haruskah Kiera bahagia atau sebaliknya? Ini terlalu rumit untuk Kiera. Dan sulit untuknya dapat mempercayai lelaki itu.
Deva mendekat namun, Kiera kembali menjaga jarak membuat Deva hanya bisa berdiri di depannya sambil menatapnya dalam-dalam.
"Aku emang nggak berniat bilang ini dengan cara ini, tapi kamu sendiri yang udah bikin aku tanpa sadar kayak gini," Deva mengusap wajahnya frustasi. "Tapi aku cinta sama kamu, Ra. Dan itu yang sebenarnya."
Kiera menggeleng tak percaya lalu berjalan ke sudut kamar, di atas meja ia menata ulang potongan foto yang pernah ia robek sebelumnya.
Deva berjalan mendekat dan seketika mendelik melihat potretnya di sana bersama Lukas.
"Kenapa ada fotoku sama Lukas?" tanya Deva bingung. "Siapa yang fotoin ini?"
Kiera mendongak menatapnya. Ia mengira Deva masih berpura-pura seperti sebelumnya. Dan sungguh gadis itu sama sekali tak memerlukan penjelasan apapun untuk bisa mengerti Deva. Tapi gadis itu segera menulis beberapa kata lagi kemudian ditunjukkan padanya.
Dia yang udah fotoin aku waktu itu, kamu pura-pura kejar dia biar aku nggak curiga sama kamu. Masih mikir aku nggak ngerti apapun?
Deva sama sekali tak mengerti. "Dia temen aku, dia kembarannya Lukman."
Jantungnya terasa berhenti mendengar ucapan Deva, sangat menyakitkan untuk mendengarnya sambil menatapnnya seperti ini. Ia tak menyangka Deva tega melakukan ini padanya.
"Dia nggak mungkin yang ngambil foto kamu waktu itu, aku kenal dia dan dia bukan orang yang kayak gitu."
Kiera masih diam saja dengan ekspresi sulit diartikan. Keduanya saling bertatap mata dalam suasana riuh dari sahutan letusan kembang api. Ketegangan diantara keduanya yang membuat keduanya tak ikut terhanyut dalam suasana indah malam ini.
Gadis itu menunduk untuk menulis sesuatu, setelah selesai menulis ia mengangkat note di tangannya tepat di depan wajah Deva. Sepertinya Kiera terlalu kesal untuk tetap bersikap biasa saja pada lelaki itu.
Aku lihat tato yang mirip di tangan temanmu sama tato yang ada di tangan orang misterius waktu itu!
Deva mengerutkan dahi sambil menatap Kiera. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Lantas saja Kiera menyahut potongan foto yang memperlihatkan tato di tangan Lukas.
Begitu ditunjukkan padanya, Deva mengusap wajahnya frustasi.
"Nggak mungkin Lukas kayak gitu," gumamnya masih tak percaya.
Kiera segera bersiap pergi karena tak ingin mendengar penjelasan Deva, sudah cukup ia merasa dibohongi. Ia tak perlu lagi mendengar tentang kebohongannya. Namun, baru saja ia melangkah pergi, Deva sudah mencegahnya.
"Ra?" Deva memegang kedua bahu Kiera. "Dengar baik-baik. Aku nggak pernah ada niatan buat nyakitin kamu. Tentang berita kemarin itu beneran aku nggak tahu apapun, aku nggak ada hubungannya sama itu."
Sebenarnya Kiera tak ingin membicarakan ini lagi karena merasa sudah cukup sampai di sini, tetapi batinnya berkata lain dan pada akhirnya Kiera menulis beberapa kata lagi untuknya.
Kamu nggak perlu pura-pura lagi karena aku akan pergi.
Deva menatapnya tajam begitu selesai membaca tulisan Kiera. Garis wajahnya terlihat lebih tegas ketika ia mulai emosi.
"Pergi lagi?" tanyanya dengan nada tenang namun, penuh penekanan. "Sampai kapan kamu ngehindar terus? Sampai kapan kamu nggak mau hapadapi masalah ini? Kita bisa selesaikan semuanya pelan-pelan dan semuanya akan membaik seperti yang kamu mau, kalau kamu mau berusaha, Ra."
Mendengarnya seperti itu seolah Deva tahu segalanya, membuat Kiera tersenyum tipis padanya, senyum menyedihkan. Segera saja ia menuliskan sesuatu untuk Deva. Dan kali ini ada emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Aku pergi karena menghindar, dan itu satu-satunya cara untukku agar bisa mengakhiri segalanya. Satu hal yang harus kamu ingat, kamu nggak tahu apa-apa tentang aku jadi, jangan berkata seolah kamu tahu segalanya.
Lelaki itu membacanya dengan tatapan yang masih tajam.
"Tapi aku bakal akhiri semua ini biar kamu bisa terbebas secepatnya, biar kamu bisa bernapas lega, dan bisa bahagia seperti sebelumnya." tutur Deva penuh keyakinan.
Saat Kiera menggeleng tak percaya, Deva menangkup wajahnya, "Aku tahu aku nggak tahu apapun tentang kamu. Tapi aku cinta sama kamu, dan kamu pantas untuk bahagia."
Kiera hanya menatapnya dalam diam, matanya berkaca-kaca. Sekuat mungkin ia berusaha terlihat tegar, tapi perlakuan dan ucapan Deva padanya membuatnya tak sanggup lagi menahan air matanya. Air matanya tumpah tak tertahan hingga membasahi pipi, pandangannya pun menjadi buram karena air mata.
"Aku bakal lakuin apapun buat cari tahu siapa dalang dibalik berita itu, aku janji bakal temuin orang itu. Dan jika bener Lukas ikut di dalamnya, aku nggak akan pernah maafin dia," ujarnya seraya menatap Kiera. "Jangan nangis lagi, ku mohon."
Diusapnya air mata Kiera penuh sayang, ia memeluk erat gadis itu.
"Jangan pergi, Ra." Deva memeluknya lebih erat.
"Ehem!" Lukman berdeham mengagetkan keduanya namun, tak membuat Deva melepaskan pelukannya.
"Kayaknya kita ngelewatin hal penting deh. Ya, kan?" Taris bertanya sambil merangkul tangan Lukman, menyandarkan kepalanya di lengan lelaki itu dengan ekspresi kecewa sementara Lukman hanya mengangguk untuk membenarkan ucapannya.
***
"Besok kamu harus ke rumah temen kamu itu, cari tahu apa Kiera masih di sana atau nggak, jangan lupa foto dia sejelas mungkin, setelah itu kamu bisa rekaman single terbaru kamu." Ujar seorang perempuan dengan raut wajah penuh kebencian di depan seorang lelaki yang sedang menunduk kaku itu.
"Ak-kan k-ku usahakan." Ujarnya kikuk. Wajahnya terlihat tak yakin dengan ucapannya. Ia sendiri ragu untuk melakukan pekerjaannya yang seperti itu.
***
Tungguin lanjutannya, yak?! 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...