-Revisi-
Di tengah rintik hujan serta hembusan angin, Kiera menikmati teh hangat dan daging bersama Deva dan yang lain di teras belakang, di rumah Taris. Mereka sangat menikmatinya, terasa begitu menyenangkan dan semakin terasa hangat.
Bersama-sama mereka menikmati indahnya suara hujan, sesekali terdengar gelak tawa mereka kecuali Kiera. Gadis itu termenung sambil menatap lurus ke arah hujan, rasanya ia tak selera mendengar obrolan asyik mereka, terlihat sekali jika dia sedang memikirkan sesuatu. Keningnya terus bergelombang, matanya tampak menerawang jauh hingga sorot matanya seakan melihat sesuatu, ia juga menggigiti bibirnya pertanda sedang tak tenang. Dia benar-benar dilanda resah kali ini.
Sekali lagi ia meneguk tehnya, berharap dengan melakukan itu pikirannya bisa sedikit lebih tenang.
"Jujur deh, ini sosis apa kayu dibakar sih?" Lukman mengiris pinggiran sosis di piring, dia terlihat kesulitan memotong sosis separuh hangus itu.
"Bukan aku yang bakar, aku cuma bakar dagingnya," Deva menyahuti.
"Nisa yang bakar, bukan aku," Taris segera memberi jawaban saat Lukman melontarkan pandangan jerah padanya.
"Apa?" Nisa menaikan alis, "Aku emang bakar sosisnya, tapi cuma beberapa."
"Yaaaah, di sini siapa pun udah tahu siapa yang nggak pernah masak," Deva manggut-manggut seraya mengiris daging yang masih ada kepulan asap di atasnya.
Mendengarnya saja sudah membuat Taris seketika tertohok, "Hei?! Aku emang biasa dandan, tapi bukan berarti aku nggak bisa masak dong! Ngeselin ih!" Taris manyun.
"Hei, jangan gitu dong nanti jelek. Ini masih bisa dimakan kok, nggak hangus cuma rada item aja," Lukman menghiburnya.
"Sama aja gosong," Nisa menyela.
Mulailah perdebatan diantara mereka, sementara Deva yang menyadari diamnya Kiera segera berpindah duduk, dia mengangkat kursinya dan meletakkannya di samping Kiera lalu duduk di sana.
Deva mulai berdehem pelan sambil menggosok tangan berusaha tak terlihat salah tingkah, "Hei, mikirin apa?"
Hening, tiada jawaban atau respons apapun dari lawan bicaranya. Gadis itu bahkan seperti tak tahu akan kehadirannya, bisa dilihat dari tubuhnya yang tak bergerak sama sekali untuk sekedar memberi respons.
"Ra?" Deva mendekatkan wajahnya bermaksud menatap mata Kiera. Karena tingkahnya itu, Kiera spontan menamparnya, sedetik kemudian gadis itu sadar dengan apa yang dilakukannya barusan, sungguh ia tidak sengaja.
Deva mengadu kesakitan dengan memegang pipi kirinya. Sementara yang lain kontan tergelak melihat pemandangan lucu itu. Kiera dengan raut kagetnya sedangkan Deva dengan wajah polosnya berekspresi kesakitan dan begitu lesu. Deva sampai lupa sudah berapa kali Kiera menamparnya di tempat yang sama.
"Sakit, Ra. Rata entar pipiku."
Tidak ada pergerakan dari Kiera, gadis itu masih menggigit bibirnya sembari memeluk diri sendiri. Dia terlihat masih terkejut bercampur rasa bersalah. Namun, ia tak dapat berkata maaf pada lelaki malang itu karena tak bisa berkata.
Buru-buru Kiera membungkuk sejenak lalu menulis kata maaf di note yang senantiasa menggantung di lehernya.
Deva tak perlu membacanya untuk tahu apa yang ditulisnya, ia lantas tersenyum sambil menatapnya teduh.
Entah kenapa Kiera merasa seolah tersihir oleh manik hitam Deva. Senyumnya bahkan terlihat manis, terlalu sayang untuk dilewatkan. Untuk beberapa detik keduanya beradu tatap dalam diam, dalam posisi seperti itu membuat tubuh keduanya terlihat kaku layaknya manekin, tidak bergerak sama sekali. Sepertinya keduanya lupa jika di sekitarnya masih ada mereka yang masih memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Ficção AdolescenteTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...