-Revisi-
Dengan langkah gusar dan sesekali menggaruk kepala, Deva tak henti-hentinya mengoceh, dia mondar-mandir tidak tenang di depan Kiera dan Taris.
"Deva, bisa nggak kamu diem sebentar aja. Kita makin bingung, nih!" oceh Taris, tangannya merogoh ponsel di saku lalu menekan kontak di layar tipis itu.
"Kamu telepon siapa?" langkah Deva terhenti.
Yang diajak bicara hanya meletakkan telunjuk di bibirnya isyarat agar lelaki itu diam sejenak.
Taris mulai berbicara dengan seseorang di seberang sana, Deva menunggu sambil mendengarkan, sementara Kiera hanya tetap terfokuskan dengan pikirannya yang semakin tidak tenang. Dia begitu takut, kuatir, gemetar, dan hanya bisa memejamkan mata sambil menunduk di sofa.
Kiera mencoba menenangkan diri namun, tak bisa. Gadis itu malah semakin tak tenang dan gusar, jika punya pilihan mungkin dia akan segera pergi dan berlari sejauh mungkin, sayangnya Taris dan Deva mencegahnya pergi. Dia tahu beberapa orang mulai berkumpul di depan rumah Deva, bersiap menerobos masuk untuk menemukan dirinya. Kini dia dihadapkan kembali dalam keadaan sedemikian rupa yaitu dikepung untuk menerima ganjaran dari sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Apakah dunia sekejam itu? Bolehkah Kiera lari dari ini? Baru saja dia merasa aman, tapi sekarang seperti dikembalikan pada situasi dimana dia tak begitu berdaya.
Kiera tahu kedua orang yang saat ini bersamanya sedang berpikir keras mencari solusi, tapi tetap saja Kiera tak begitu yakin pada keduanya, belum tentu Deva dan Taris dapat membantunya, jika pergi pun gadis itu tak tahu harus lewat mana sebab bisa saja dia langsung dikerumuni seperti sebelumnya.
Pikirannya kembali melayang ke memori satu tahun yang lalu, Kiera memejamkan mata rapat-rapat dan memeluk diri sendiri dengan tubuh gemetar.
Flashback on.
"Kakak?!" Kiera terbelalak melihat kakanya memeluk mesra kekasih Kiera, Dion. Kiera tahu keduanya baru saja berciuman, melihatnya saja membuatnya malu sekaligus kecewa. Meski kesakitan karena pita suaranya rusak, gadis itu tetap memaksakan diri untuk bicara, "Kak Reina tega banget dia pacarku! Gimana bisa Kak Reina-"
"Cukup Kiera!" sentak Dion. Lelaki itu melepas pelukan Reina yang masih enggan melepas tangannya di tubuh Dion.
Reina mendengus kesal saat Dion melepas pelukannya, apalagi saat lelakinya berjalan mendekati Kiera.
"Denger baik-baik Kiera Zee, kita udah nggak ada hubungan apa-apa, sekarang seorang Kiera Zee udah jatuh miskin, dan yang sekarang berdiri di sini cuma seorang cewek yang nggak punya apa-apa dan bego. Jadi sekarang pergi dari sini atau-"
"Dion!" Kiera menampar pipi Dion hingga menimbulkan bunyi nyaring di seisi rumah Kiera.
Dagu Dion mengeras menahan panas di pipi, dia menatap Kiera dengan pandangan muak dan jijik, "Berani-banget-"
"Dion!" Reina menahan tangan Dion yang sudah terangkat ke atas bersiap menampar balik Kiera. "Ini jatahku, sayang."
Kiera menatap pedih ke arah kakak tercintanya, tapi yang di pandang sedikit pun tak menatap penuh sayang atau kasihan padanya. Hanya ada raut kemenangan terukir jelas di wajah Reina. Menjijikan.
"Kak Rein, aku masih dalam keadaan dipermalukan di luar sana karena berita-"
"Kiera, adik yang paling kakak sayang," potong Reina cepat. "Denger baik-baik, semua berita, semua gosip, semua foto atau yang paling buruk adalah tersebarnya kabar adikku ini sengaja batalin konser terakhirnya, itu semua karena Kak Reinamu," Reina tergelak puas. "Sebentar lagi akan ada berita baru tentang adik kecilku yang bawa kabur uang milyaran. Uang dari hasil menipu."
"Kak Reina jahat," air mata Kiera mulai menggantung di pelupuk mata. Bagaimana bisa orang yang sangat disayanginya melakukan ini padanya? Rasanya seperti ditampar agar sadar dari kenyataan, ia tersadar akan sikap peduli kakaknya selama ini hanyalah palsu semata, sungguh ia merasa tertipu. Ia tidak habis pikir, kakaknya sendiri begitu tega atas dirinya.
"Sekarang pergi dari sini, Kiera. Sekarang rumah ini punya Kak Reina, jadi sebelum Kak Rein-"
"Sebelum apa, Kak Rein?" Kiera menatap Reina lekat, suaranya parau dan hampir tak terdengar. Susah payah dia menahan sakit di tenggorokannya.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Kiera."Ups! Kelepasan. Tuh kan, Kak Reina jadi kasar, deh." Reina terkekeh enteng, tapi tetap menatap Kiera dengan jijik.
"Apa salah Kiera, Kak Rein?" Kiera tak bisa menahan air matanya lagi. Meski pipinya terasa membara, tapi Kiera tak memeganginya.
Reina menatapnya tajam, tiada kasih sayang yang tertinggal di manik hitam itu, tersirat kebencian yang dalam di guratan wajahnya, sosok lembutnya hilang sepenuhnya. Kakak yang disayanginya telah berubah menjadi monster yang telah menghancurkannya sampai sedemikian rupa, ia merasa bodoh hingga dirinya sendiri tak menyadari dalang dari kehancurannya adalah kakaknya sendiri.
"Kiera sayang kakak..." suaranya tercekat, "sangat menyayangi kakak." Gadis itu berbalik meninggalkan kakak dan seseorang yang pernah dianggapnya kekasih.
Kiera berlari menuju kamarnya, dia mengemas pakaian dan barang-barangnya. Setelah selesai dia keluar rumah tanpa berpamitan lagi. Kiera menembus hujan dan membiarkan angin dingin menerpa tubuhnya. Dia berjalan dengan putus asa menuju apartemen, tapi begitu sampai di sana dia tak diijinkan masuk. Dia sudah tak diperbolehkan masuk ke tempat terakhir yang bisa ditujunya.
Sampai hujan reda dan pakaiannya mengering dia masih berjalan gontai di tepi jalan. Malam pun tiba, Kiera hanya bisa tidur di pom bensin karena tak menemukan tempat beristirahat. Setelah pagi menjelang Kiera kembali mencari tempat tinggal, dia tahu dia tak memiliki cukup uang namun, masih berharap menemukan tempat di kota besar itu.
Saat di perjalanan gadis itu lantas ketakutan ketika orang-orang mulai berkerumun di sekitarnya sebab mulai mengenali dirinya, ia menunduk dan berusaha menyembunyikan wajah seraya menghindar namun, semua orang malah mencegatnya. Mereka mulai meneriaki namanya, menjambak rambut, menampar, dan tak segan-segan memukulnya.
Flashback off.
"Oke, aku punya ide." Lukman yang baru datang segera ikut bergabung dengan yang lain.
Kiera bahkan tak menyadari kedatangannya, gadis itu masih memejamkan mata dan tak sadar membiarkan dirinya menyiksa diri sendiri dengan ingatan di masa lalu.
"Pergi!!" Kiera menjerit sekuat tenaga sambil memegangi kepala, ia meringkuk seakan begitu ketakutan. Dia tak sengaja berteriak, bahkan dirinya tak sadar jika baru saja bersuara, apalagi sekeras itu.
Deva mendekat, "Ra, kamu kenapa?" dia menatap Kiera yang terlihat ketakutan dan gemetar. "Ra?"
Taris dan Lukman tercengang mendengar suara Kiera dan saling berpandangan.
"Dia udah bisa ngomong?" Lukman bertanya pada Taris.
Taris menggeleng tak tahu, "Kiera Zee udah sembuh!" gadis itu terlihat senang.
Sementara Deva yang tak tahu apa-apa hanya bisa menatap bingung keduanya, "Hei, dia ketakutan, kenapa kalian malah ngobrol?!" Deva memang tak tahu jika pita suara Kiera memanglah rusak, karena yang dia tahu gadis itu hanya puasa bicara. Ya, hanya itu yang di ketahui oleh Deva.
***
Kasih saran dong. :3
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...