Maaf

1.9K 113 1
                                    

-Revisi-

"Ra kabur lewat belakang rumah, guys!"

Deva lantas menatap Taris tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Lukman dan Lukas pun tak kalah kagetnya.

Deva kembali menoleh ke arah Lukas, "Urusan kita belum selesai."

Lelaki itu beranjak pergi dari sana, secepat mungkin ia memacu kakinya menyusul Kiera.

Di sisi lain, Kiera berjalan gontai menyusuri lorong kecil tak jauh dari rumah Deva. Ia memakai masker meski tak memakai jaket bertudung seperti biasanya. Ia hanya ingin pergi walau pun tak tahu harus kemana. Langkahnya terasa berat meninggalkan rumah Deva, tapi sebisa mungkin ia bersikap waras agar tak kembali ke sana.

Dengan tatapan kosong gadis itu terus melewati beberapa orang yang berjalan di sekitarnya, mengabaikan tatapan aneh mereka seolah tak melihat siapa pun di sana.

Sampai air langit jatuh menerpanya. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat berteduh, tetapi tak membuat Kiera ikut berlarian pula. Gadis itu masih berekspresi sama seperti tadi, masih dalam pikirannya sendiri.

"Ra?!" sebuah suara muncul dari belakang. Ia tahu itu suara Deva, meski begitu Kiera enggan menoleh.

"Kamu mau kemana?" lelaki itu meraih tangan Kiera, menariknya hingga gadis itu berputar menghadapnya. "Jangan pergi, Ra."

Tiada ekspresi di wajah Kiera untuk menyambut tatapan teduh Deva, ia tetap terlihat sendu dengan tatapan kosong.

"Kita pulang," Deva melepas jaketnya lalu memyampirkannya di bahu Kiera.

Begitu Deva menuntunnya, Kiera berontak lemah seakan tiada tenaga untuk menghindar.

Deva menurunkan tangannya, ia menutup tudung jaket untuk menutupi kepala Kiera lalu menangkup wajahnya.

"Pulang sama aku, Ra," ia memohon seraya menatap Kiera dalam-dalam. "Kamu tahu? Aku pernah nulis di kertas buat kamu, aku baca berulang kali, setiap hari sampai hafal, tapi sampai sekarang nggak berani kasih tulisan itu ke kamu. Tahu apa yang aku tulis?"

Kiera menggeleng samar sambil menatapnya, ia ingin sekali pergi saat ini juga, berlari agar tak perlu menghadapi Deva lagi namun, entah kenapa menatap Deva yang seperti ini malah semakin membuatnya terasa berat. Sangat berat sampai membuatnya tertekan hingga mengarahkannya menuju rasa sakit.

Deva meneruskan kata-katanya, "Bicaralah padaku, atau setidaknya jawab satu saja pertanyaanku meskipun hanya dengan satu kata, karena yang kuinginkan hanya mendengar suaramu menyapaku."

Kiera menangis mendengarnya, dadanya terasa sakit saat itu juga. Ia tak tahu kenapa ia seperti ini, tapi ia tetap berusaha terlihat setenang mungkin agar Deva tak tahu jika dirinya sedang menangis. Beruntung hujan menerpa wajahnya, membuat air matanya tak terlihat di sana.

Deva tersenyum manis padanya, "Tapi sekarang bukan itu yang aku mau. Kamu nggak perlu bicara untukku, Ra. Cukup bersamaku aja aku udah bahagia, karena aku sayang sama kamu," Deva memeluk Kiera. Memeluknya begitu erat seakan tak ingin melepasnya lagi.

"Karena aku cinta kamu," kata Deva jujur. "Aku bakal buktiin dengan cara apapun biar kamu tahu seberapa tulus cintaku buat kamu dan aku janji nggak akan pernah ninggalin kamu."

Batin Kiera bergejolak mendengarnya, tangisnya semakin menjadi hingga membuat bahunya sedikit terguncang.

Makasih udah sayang sama aku, batin Kiera.

Sadar Kiera menangis, Deva lantas melepas pelukannya, "Jangan nangis. Sekarang kita pulang. Mau?"

Kiera menatap Deva yang sedang menaikkan sebelah alisnya. Kiera tersenyum kecil lalu mengangguk pasti.

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang