-Revisi-
Badan Kiera panas dan masih belum siuman dari pingsannya. Deva mengompres dahinya agar Kiera cepat tersadar. Berharap Kiera segera baik-baik saja.
"Bangun, Ra," Deva mengusap pelan punggung tangannya, mengelusnya penuh sayang.
"Ngh." Kiera mengeluh lemah, sangat lemah sampai Deva hampir tak mendengarnya. Tahu Kiera tersadar otomatis Deva menyingkirkan tangannya, berhenti mengelus punggung tangan Kiera atau gadis itu akan marah lagi kali ini. Sebenarnya tak apa jika Kiera marah padanya, tapi ia tak ingin Kiera yang baru saja siuman jadi pingsan lagi sebab menggunakan sisa tenaganya untuk mengomelinya, meski sebenarnya ia yakin gadis itu tak akan bersuara untuknya.
"Kamu nggakpapa, Ra?" Deva yang duduk di tepian ranjang segera berdiri di samping Kiera.
"Mau minum?" Kiera menggeleng menjawabnya. Dengan tubuhnya yang masih terlalu lemah ia mencoba duduk. Tanpa diminta lelaki itu segera membantu, tetapi sepertinya Kiera menolaknya lagi. Tangan Deva dihentakkan meski dengan gerakan kalem.
Mendapat perlakuan sama membuat Deva sedikit mengabaikannya, ia tetap membantunya duduk dan menyandarkan Kiera di sandaran ranjang.
"Kamu belum makan, belum minum, badan kamu juga panas, ku buatin bubur mau?" tanya Deva.
Kiera tak banyak berekspresi, hanya tatapan matanya saja yang dapat mengatakan segalanya. Sorot matanya terlihat lelah seolah mengatakan tolong pergi dan biarkan aku sendiri.
"Aku nggak akan kemana-mana sampai kamu sembuh total," tangan Deva menyelipkan helaian anak rambut yang sedikit berantakan ke telinga Kiera membuat gadis itu menatapnya tak suka.
Jika saja Kiera masih memiliki tenaga sudah pasti tangan Deva ditepis kuat-kuat olehnya. Berani sekali dia menyentuh rambutnya dalam keadaan Kiera yang selemah ini.
"Ku buatin bubur dulu, tapi kamu harus minum dulu," Deva menyodorkan segelas teh hangat padanya. Kiera menolak, tetapi Deva memaksa. "Kamu mau pingsan biar ku gendong lagi?" gurau Deva.
Kiera menautkan alis membalas pertanyaan Deva, lagi pula untuk apa Deva menggendongnya lagi? Bukannya Kiera sudah di atas kasur? Sungguh Kiera dibuat kesal olehnya.
"Ku buatin bubur bentar lagi, tapi ini diminum dulu."
Kiera menatap sejenak gelas berisi air kecoklatan di tangan Deva, ia merasa haus, tapi tak ingin meminumnya di depan Deva karena masih kesal. Cepat-cepat ia membuang muka bersikap masih mengacuhkan lelaki itu.
"Ya udah, kalau kamu nggak mau minum sekarang," kata Deva. "Ku tinggal ke dapur dulu."
Kiera masih diam saja dalam posisi itu.
Deva tersenyum samar menatapnya lalu meletakkan gelas itu ke atas nakas kemudian beranjak dari sana.
Kiera menoleh ke arah pintu sebelum punggung Deva tak terlihat lagi di sana, setelah yakin Deva tak akan kembali ia mengulurkan tangan meraih gelas, meminumnya lalu meletakkannya lagi setelah menghabiskan separuh isi.
Di sisi lain Deva menghubungi Taris, malangnya seseorang yang dihubungi sedang sibuk makanya tak mengetahui panggilan darinya. Deva mematikan panggilan kemudian mendesah resah. Padahal ia sedang mengharapkan bantuan Taris.
"Gimana bisa bikinin bubur kalau aku aja nggak bisa masak?" lagi-lagi ia mendesah, kali ini terdengar frustasi. "Beli di luar pun nggak akan ada kalau nggak ke mini market."
Deva mengacak rambut kesal, "Kirim pesan aja deh, mungkin nanti dibaca."
Sebelum ia mengetik sesuatu di layar ponsel, Taris terlebih dahulu memanggilnya.
"Halo? Iya, ini ada yang genting banget," Deva menyahuti suara dari seberang sana. "Ra lagi sakit, kemana aja sih tumben seharian nggak ke sini?"
Taris tergelak mendengar kalimat terakhir, pantas saja ia berekspresi seperti itu pasalnya Deva memang selalu mengusir Taris jika ke rumahnya karena alasan gadis itu terlalu berisik, tetapi karena Kiera sakit, Deva jadi berkata sedemikian rupa. Terkesan lucu untuk ukuran Taris yang memang dasarnya suka meledek Deva.
"Ngapain ketawa? Jangan kebanyakan nanya juga. Sekarang kasih tahu gimana caranya bikin bubur?"
***
"Kata Deva, Kiera sakit, eh maksudku Ra lagi sakit," Taris bicara di balik bahu Lukman karena sedang dibonceng olehnya.
"Terus?" Lukman merespon sekenanya.
"Terus?!" Taris menautkan alis, "kita ke sana dong, abis makan nanti cepet-cepet puter balik ke rumah Deva, aku mau lihat keadaan Ra."
Lukman berekspresi malas namun, tetap mengangguk tanpa menoleh ke belakang.
***
Kiera tak lelah berulang kali menolak suapan Deva namun, lelaki itu belum juga lelah memintanya memakan bubur buatannya.
"Ini udah hampir dingin loh, Ra. Nanti nggak enak. Makan dikit aja, ya?"
Deva tetap menyodorkan sesendok bubur ke arah Kiera namun, seperti biasa Kiera menolaknya, mendorong tangan Deva tanpa menoleh, Kiera masih membuang muka sedari tadi. Bahkan ia tak selera makan karena ada Deva di dekatnya, mungkin akibat dari kekesalannya yang belum mereda.
"Kenapa nih?" suara Taris berasal dari pintu kamar. Sepertinya dia tak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan setelah naik motor tadi di jalan. Mendengar kabar Kiera yang sedang tidak enak badan membuatnya kuatir, itulah kebiasaan Taris jika menyangkut Kiera.
"Dia nggak mau makan, mungkin mau kamu suapin kali." Kata Deva saat Taris menghambur duduk di ranjang kasur, di sebelahnya Kiera masih duduk sambil menekuk lutut.
Taris menoleh Kiera namun, yang ditoleh tetap membuang muka sambil memasang wajah lesu khas orang sedang sakit. Ia hendak memegang dahi Kiera, tetapi Deva mencekal tangannya dan memberi isyarat untuk tak menyentuhnya karena dirinya masih yakin Kiera tak ingin disentuh siapa pun termasuk Taris. Hal itu lantas dimaklumi Taris, akan tetapi gadis itu tak dapat memaklumi Deva. Ia malah bertanya-tanya, kali ini apa lagi yang telah dilakukan Deva pada Kiera? Gadis itu melotot gemas pada Deva sembari menyentakkan tangan.
Deva hanya menaikkan kedua alis menanggapinya karena tak mengerti maksud dari ekspresi Taris yang terlihat sedang menahan diri agar tak segera mencabiknya.
Taris melirik bubur di mangkuk yang dipegang Deva, "Eww... bubur apaan coba?"
Suaranya ketara meledek membuat Deva mendesah lelah, dan angkat bahu. Ia sadar diri jika tak pandai membuat bubur apalagi memasak, tapi setidaknya ia mencoba dan menurutnya itu berhasil. Buktinya buburnya matang meski sedikit kecoklatan. Jadi ia memaklumi jika masakan ala kadarnya itu dipandang jijik oleh Taris.
"Udah kamu icip nggak tadi?"
"Nggak akan dicicipi, aku yakin sih." Lukman menyela. "Dan rasanya dijamin seratus persen enek."
Kali ini Deva pasrah dengan apa yang dikatakan oleh mereka, ia lebih memilih pergi karena merasa Kiera sedang tak ingin melihatnya. "Kalian nginep aja malam ini." Deva menyerahkan semangkuk bubur itu pada Taris, ia menyempatkan diri melirik Kiera sejenak sebelum melangkahkan kaki.
Taris menjilat sedikit ujung sendok, "Em! Manis banget, kebanyakan gula, kurang garam, kurang air," ia berekspresi ngeri, "ada racunnya nggak nih?"
Deva mengibaskan tangan tanpa berbalik menatapnya. Sementara Lukman menggeleng sambil mengekor di belakang Deva.
Kiera sadar masih ingin merasakan kebersamaan seperti ini, tetapi bersamaan dengan itu ia juga ingin pergi namun, ia masih belum kuat melarikan diri. Mungkin ia akan pergi setelah sedikit mendapatkan energi. Ia tak ingin mengikat hubungan ini menjadi lebih kuat lagi karena tak ingin dihancurkan lagi oleh orang yang dipercayai olehnya.
***
Udah selesai, tapi nggak bisa dipublis. Jadi ku pending sampe sekarang. *Dijelasin meski nggak ada yang nanya. 🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
JugendliteraturTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...