Sembunyi

2.5K 118 0
                                    

-Revisi-

Raut ketakutan Kiera masih sama, keringat dingin mengucur di dahi dengan tubuh gemetar. Taris mengelus punggungnya pelan mencoba menenangkan gadis itu, tetapi begitu telapak tangan Taris menyentuhnya seketika Kiera menunduk ketakutan, seakan merasakan sentuhan itu sebuah pukulan.

"Tenang, kamu aman di sini," tangan Taris beralih meraih tangan ringkih Kiera yang tak henti-hentinya gemetaran.

"Kayaknya dia trauma atau ketakutan sama sesuatu deh, dia bahkan nggak dengerin kita yang dari tadi ngajak ngomong," Lukman berpendapat.

Deva yang masih menatap gusar pada Kiera segera bangkit lalu berjalan ke dapur mengambil minuman. Setelah kembali dari dapur Deva kembali berjongkok di depan gadis itu.

Deva tahu Kiera kesulitan mengatur napasnya karena gadis itu dikuasai ketakutannya sendiri, "Ra, tenang dulu," jemari Deva mengelus pelan tangan Kiera, ucapnya begitu lembut seakan tak ingin menyakiti Kiera dengan suaranya.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat Kiera tersadar dari ketakutanya, ia membuka mata dan mendapati Deva sedang tersenyum lembut padanya, "Semuanya akan baik-baik aja. Kamu masih punya kita, Ra."

Kiera menatap ketiga orang di depannya bergantian, ekspresinya masih syok namun, terlihat lebih tenang. Saat itulah dia tersadar dari gambaran masa lalunya. Kiera tahu Deva benar, dia aman karena masih bersama mereka. Setidaknya mereka bertiga masih di sini dan sedang menatapnya kuatir, kegelisahan tak dapat disembunyikan dari wajah mereka. Tapi tak dapat dipungkiri, ia masih takut jika nantinya wajah tulus mereka berubah menjadi sesuatu yang pernah dilihatnya, seperti wajah palsu kakaknya, Reina.

Deva menyodorkan segelas air padanya tanpa mengikis senyum, tatapannya tetap teduh dan menenangkan, "Minum dulu."

Kiera menurut saat gelas bening itu di dekatkan ke mulutnya, Kiera ikut memegangi gelas meski Deva sudah memegangnya, pelan-pelan Kiera meneguk hingga separuh isi.

Deva merasakan dingin di setiap ujung jemari Kiera, ia juga tahu gadis itu masih gemetaran.

"Udah mendingan?" tanya Deva kala Kiera sedikit menjauhkan gelas darinya. Deva hanya mendapat anggukan kecil darinya.

"Lega rasanya," Taris menghela napas, "tadi itu bikin aku panik banget, Kiera. Eh, maksudku-"

"Cuma Ra, bukan Kiera," Lukman mengingatkan, Deva turut menatap Taris dengan raut datar.

"Iya, maklum kebiasaan. Dasar mulut nggak sopan," Taris menepuk bibirnya sendiri dan tersenyum segan. "Tapi tadi kamu udah bisa ngomong loh."

Mendengar penuturan Taris sontak Kiera terperanggah, tanpa sadar ia menutupi mulut dengan tangan. Sungguh ia tak sadar, dia bahkan tak yakin dengan ucapan Taris. Gadis itu menatap mereka bergantian seolah butuh kepastian.

"Iya, kamu bisa ngomong barusan," Lukman membenarkan membuat Kiera semakin tak menduga jika itu benar.

Bersamaan dengan itu Deva mengerutkan dahi, "Emang kenapa kalau Ra bisa ngomong?" tanya Deva polos. Pengetahuan Deva sangat minim akan latar belakang Kiera, pantas jika kedua temannya itu sekarang hanya menatapnya datar. Mereka pun tak ingin mempersulit diri dengan menjelaskan pada Deva tentang sosok terkenal Kiera Zee, sebab mau dijelaskan dari awal pun lelaki yang gaptek sekaligus buta dunia luar itu tetap tak akan mengerti. Dasar Deva.

"Makanya jangan kelamaan bertapa di rumah, hal kecil itu aja nggak tahu. Kebangetan emang," Taris mencibir.

"Malah ngeledek," Deva memutar bola mata malas, "terus sekarang gimana? Apa idenya?"

"Astaga!" Lukman menepuk dahi, ia sampai lupa."Sini dengerin rencananya."

Mereka mulai berkumpul, "Jadi gini kalau mereka tahu dia masih di sini pasti mereka bakal terus-terusan ngejar."

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang