-Revisi-
Seorang lelaki berjalan gontai melewati halaman rumah Deva. Ia berhenti begitu sampai di depan pintu. Tangannya terangkat untuk mengetuk namun, diurungkan karena ragu. Ia menunduk lesu sambil menarik napas, ia mendongak lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia sangat ragu melakukan ini, ia tak yakin akan berhasil seperti sebelumnya, tetapi karena demi tercapainya sebuah mimpi, dia jadi seperti ini. Menghalalkan segala cara agar menggapai mimpinya. Hanya itu satu-satunya jalan untuknya.
Tangannya terangkat kembali dan bersiap mengetuknya namun, tiba-tiba pintu itu terbuka menampakkan Taris yang berdiri di sana dengan tatapan yang perlahan berubah menjadi kaget.
"Lukas?!" gadis itu mundur perlahan lalu berlari ke arah Lukman. Ia seperti ketakutan, bukan karena takut padanya namun, karena hal lain. Dia sudah mendengar keseluruhan ceritanya dari Deva, makanya ia takut, ia takut kalau-kalau akan ada pertengkaran hebat di rumah ini.
"Suruh dia pulang, Man," pinta Taris.
Lukman mendudukkan Taris di sofa, memintanya untuk tetap tenang. Lukman mendekat padanya, tetapi sebuah suara membuatnya terhenti dan refleks menoleh. Ternyata itu suara Deva, ia memanggil nama Lukas dengan amarah tertahan, di belakangnya ada Kiera yang baru saja keluar dari kamar karena mendengar teriakan Deva.
"Bangsat!" Deva berlari ke arah Lukas dan langsung memukul rahangnya. Lukman yang berusaha melerai pun memental ke dinding karena Deva menghempaskan tubuhnya. Bersamaan dengan itu Taris berteriak histeris, ia sampai berlari mendekat agar Lukman tak kena pukulan lagi.
"Dev, tenang dulu," Lukman masih berusaha melerai namun, Taris menahannya.
"Dia lagi emosi, biar Ra aja yang tenangin, jangan kamu Lukman!" Taris hampir menangis.
Sementara Kiera yang ketakutan berusaha mendekat, beberapa kali kakinya tersandung. Sepertinya rasa takut membuatnya jadi seperti ini.
Begitu berada di dekat kedua orang yang saling pukul itu Kiera hampir menjerit dan menangis, ia tak pernah ketakutan sampai seperti ini sebelumnya. Namun, sebisa mungkin ia menahannya, sampai pada akhirnya ia mengambil botol kaca yang ada di atas nakas. Tanpa pikir panjang Kiera memecahkannya, membuat aksi saling pukul keduanya terhentikan dan beralih menoleh ke arahnya. Kini semua mata tertuju padanya.
"Ra?!" Deva mendelik melihat darah yang menetes di jemari Kiera, mengucur hingga ke lantai.
Tak perlu banyak berpikir, lelaki itu segera melepaskan tangannya dari kerah baju Lukas. Ia berlari padanya, tetapi Kiera malah menjauh, melihat perubahan sikap Kiera membuat Deva membeku di tempatnya, ia tak berani mendekat. Tidak sampai gadis itu merasa lebih tenang.
"Tangan kamu berdarah." Deva menatap Kiera yang sedang menatapnya sendu. Raut wajahnya seolah berkata hentikan.
Dalam hati ia merutuki diri sendiri, ia baru menyadari kesalahannya, dia membuat gadis itu ketakutan karena ia tak bisa mengendalikan diri. Kini ia menyesal menatap gadis yang dicintainya gemetaran dengan mata berkaca-kaca.
Sadar harus segera menengahi keduanya, Taris mendekati Kiera, "Lukamu harus diobati, Ra."
Kiera menurut ketika Taris menuntunnya beranjak dari sana. Sampai di depan televisi yang masih menyala, keduanya duduk di kursi empuk itu.
Taris menatap Kiera prihatin, "Tunggu sebentar ya, ku ambilin obat dulu."
Kiera mengangguk lemah sebelum Taris berlalu pergi. Beberapa saat kemudian Taris kembali sambil membawa apa yang dibutuhkan. Ia duduk di samping Kiera yang masih dalam kebisuan dan dalam pikirannya sendiri.
Taris menarik tangan Kiera yang masih berdarah. Perlahan ia membersihkan lukanya. Taris memang tipe orang yang takut jika melihat luka, dapat dilihat dari caranya yang mengobati sambil memasang tampang ngeri, meski begitu Taris tetap memberanikan diri melakukannya.
Kiera terdiam dan tak bergerak sama sekali, pandangannya terlihat kosong menatap lurus ke depan, seolah dirinya tak merasakan perih padahal lukanya sedang diobati. Mungkin perasaannya yang kacau membuatnya sulit berekspresi.
Saat ini yang paling penting adalah ketenangannya agar dirinya tak depresi lagi atau yang lebih buruk kembali dalam keterpurukannya seperti dulu, akan tetapi semua yang terjadi di sekitarnya membuat dirinya kesulitan mengendalikan diri. Kadang ia sampai lupa sedang berpijak dimana, bersama siapa atau dalam keadaan apa, karena yang selalu diingat olehnya adalah diri sendiri, selama ini dia hanya berpikir dirinya tak pernah membutuhkan orang lain, tak memiliki siapapun, dan tak memiliki kepercayaan terhadap orang lain. Yang dikenalnya hanya diri sendiri, hingga di saat ia mulai mempercayai seseorang menjadikannya seperti ini, bimbang dan tak tentu arah. Ia tak mengakui batinnya yang mempercayai seseorang itu dan memilih memegang teguh akal sehatnya yang tetap bersama dengan diri sendiri.
Di sisi lain, Deva menyesali yang telah dilakukannya. Ia terduduk di sofa tanpa mempedulikan Lukas yang terduduk di lantai dengan wajah penuh lebam. Deva tak henti-hentinya meremas rambutnya sendiri, susah payah ia menenangkan diri namun, tetap sulit. Sungguh, ia menyesal setengah mati.
Sedangkan Lukman yang berulang kali mencoba memapah Lukas selalu ditepis oleh saudara kembarnya itu. Niatnya ingin membantu namun, bantuannya sama sekali tak dibutuhkan oleh Lukas karena sejatinya memang lelaki itu lebih keras kepala dari Lukman.
Deva yang awalnya mengabaikan mereka berdua jadi menoleh kesal pada keduanya. Ia berdiri dari sofa kemudian mendekat dengan langkah lebar.
"Nggak perlu bantuin pengecut kayak dia, Man!" Deva berujar penuh penekanan pada kata pengecut, membuat Lukman menoleh padanya dengan tatapan tajam.
Tanpa aba-aba apapun Lukman meninju perut Deva, membuat lelaki itu terbatuk-batuk sambil membungkuk memegangi perutnya.
"Oh, jadi udah akur ya kalian berdua?" Deva meledek sambil menyembunyikan raut kesakitan di wajahnya.
"Denger baik-baik!" Lukman mencengram kerah baju Deva. "Kita emang sering berantem, tapi bukan berarti kita musuhan! Dia kembaranku, Dev! Saudaraku ! Kamu nggak bisa seenaknya pukulin dia kayak gitu! Semuanya bisa diomongin baik-baik, Bro!"
Punggung Deva terbentur dinding ketika lelaki itu mendorong tubuhnya.
Deva tertawa dengan napas tersenggal, membuat suara tawanya terdengar ironi.
"Baik-baik?" Deva mengulang. "Lalu apa kabar sama dia?" ia menoleh ke arah Lukas, menatapnya risi.
"Dia yang udah sebarin keberadaan Ra ke media lewat foto yang dia ambil! Menurutmu itu bisa diomongin baik-baik?!" Deva menunjuk Lukas tanpa mengalihkan pandangannya dari Lukman.
Lukman menghembuskan napas lelah sambil membuang muka, ia tahu sahabatnya itu tak akan emosi jika amarahnya tak tersulut. Namun, menurut Lukman tak seharusnya Deva menyelesaikannya dengan saling pukul, itu hanya akan memperkeruh keadaan.
Di tengah ketegangan itu Taris muncul dan memasang wajah panik yang begitu ketara.
"Ra kabur lewat belakang rumah, guys!"
***
Hei, kamu! Iya kamu yang lagi baca ini. Baca ceritaku yang baru yaa, hehe.
Judulnya Strong Ties. Baru sempet ku promosiin sekarang gegara kemaren lupa. Semoga menghibur. Sampai jupa di part selanjutnya. ❤🙆
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...