-Revisi-
Kiera termenung menatap video di ponsel Deva. Matanya mulai berkaca-kaca saat mengingat sekilas kenangan beberapa tahun yang lalu.
Dalam video itu ada seorang gadis yang sedang bernyanyi di halaman taman yang cukup ramai, di sekitarnya ada banyak orang yang menikmati suaranya dengan mengelilinginnya. Ada beberapa yang merekam, ada yang bertepuk tangan mengikuti petikan gitar yang dimainkan olehnya, dan ada juga yang ikut bernyanyi. Tapi sayang sekali, sosok gadis itu terlihat dari samping saja hingga yang terlihat hanyalah sisi kirinya. Wajahnya tak begitu jelas karena video itu direkam dari sudut yang kurang tepat.
"Mukanya nggak kelihatan. Yang ngerekam kurang deketan sama salah posisi, harusnya kan dari depan," Deva berujar. "Suaranya enak kan? Merdu banget, bener-bener lembut."
Mendengar itu, Kiera lantas menoleh ke arahnya. Mulutnya masih membungkam dan hanya diam memandang wajah Deva yang terlihat senang dan begitu terkesan. Senyum lelaki itu membuatnya tertegun dalam kesunyian.
Itu aku, Deva. Makasih, batin Kiera. Tanpa sadar senyumnya mengembang manis, mata indahnya berbinar lembut sambil menatap Deva.
"Coba aku bisa dengar suaramu waktu nyanyi. Aku yakin bakal semerdu ini, atau mungkin lebih merdu," Deva menatap Kiera lembut.
Dalam keheningan keduanya hanya saling pandang, baik Kiera atau Deva sama-sama mengagumi pesona indah di mata masing-masing. Bahkan tanpa berkedip, seolah jika itu terjadi maka keduanya tak bisa melihat pesona itu lagi. Rasanya menyenangkan meski dalam jarak sedekat itu.Tapi sebuah suara membuat keduanya mengerjap kaget, dan kali ini Deva kembali dihinggapi nyamuk yang tidak sopan di wajahnya. Kontan saja Deva menepuknya sendiri sebelum Kiera memukulnya lagi seperti waktu itu. Sepertinya ia hanya waspada karena Kiera memang selalu refleks dalam segala hal, bahkan gadis itu sudah mengangkat tangannya dengan gestur hendak memukul.
Untunglah Deva selamat.
"Udah ku pukul. Nih, lihat!" Deva tersenyum enggan pada Kiera dengan menunjukkan nyamuk yang menempel di tangannya.
Kiera mengerjap linglung menatapnya, sepertinya dia tak menangkap maksud dari lelaki itu. Maksud Kiera adalah, kenapa raut wajahnya harus sekaget itu saat ada nyamuk menempel di wajahnya? seakan serangga yang satu itu merupakan mahluk besar dengan kekuatan tak terkalahkan.
"Oh iya! Aku lupa," Deva mengusap wajahnya. "Tentang rekaman yang waktu itu gimana? Mau kamu apain?"
Mendengar itu, Kiera berubah ekspresi. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, pandangan Kiera jatuh menatap kuku-kukunya. Ia hanya angkat bahu sebagai respon untuk Deva. Jujur saja, Kiera tak pernah memikirkan akan diapakan nantinya bukti itu, karena baginya semuanya tak akan kembali seperti sebelumnya meski dunia mengetahuinya. Walau kebahagiaan nantinya akan datang, tapi kekecewaannya tak akan pernah surut dari sebelumnya. Untuknya tak akan berdampak apa pun jika menyebar luaskan video itu.
Lagi pula dia merasa sudah terlampau tenang menjalani kehidupannya dengan bersembunyi dari orang lain, menjadi terbiasa walaupun terkadang merasa lelah. Ia terlalu takut rasa sakit itu akan datang lagi untuk menyerangnya, hingga tak peduli sebesar apa kebahagiaan yang akan datang untuknya kelak nanti. Sungguh menyakitkan.
"Kamu bisa bersihin nama baikmu dengan video itu. Lalu, kamu bisa hidup normal kayak dulu. Ya kan?" Deva melipat tangan di dada.
Diluar dugaan Deva, Kiera menggeleng kuat-kuat dengan ekspresi menolak cukup kental di wajahnya.
"Kenapa? Bukannya itu kesempatan buat kamu?" Deva teramat heran dengan pemikiran Kiera.
Kiera mendesah lembut, ia menulis sesuatu untuk lelaki itu, lalu menunjukkannya sambil memasang wajah setenang mungkin seolah dia sangat baik-baik saja.
Aku udah terbiasa hidup kayak gini. Lagian aku nggak perlu bales Kak Reina lebih menyakitkan dari apa yang pernah dia lakuin, karena aku baik-baik saja.
Setelah membacanya, Deva menghela napas. Ia menggeleng pelan, "Kamu nggak bisa kalau cuma diam aja sementara dia seneng-seneng sekarang. Maksudku, harusnya kamu hidup selayaknya, Ra. Kamu pantas untuk itu."
Kiera mencerna ucapan Deva dalam diam, ia bahkan tak pernah berpikir sejauh itu.
"Ayolah, pasti ada sesuatu yang pengen kamu lakuin kan? Pasti ada sesuatu yang paling kamu butuhkan. Coba pikirin ini baik-baik. Aku siap buat bantuin kamu kapan aja." Deva menatap lekat Kiera seakan benar-benar berharap Kiera mendengarkannya dengan baik.
Sayangnya Kiera tak menunjukkan emosi apapun di dirinya. Sejenak ia menatap Deva sebelum beranjak dari sana tanpa pesan apa pun. Meski Deva memanggil namanya, tapi gadis itu sama sekali enggan menoleh dan tetap menuju kamarnya. Ia bahkan lupa pada kebiasaan rutinnya yang mencuci piring setelah makan.
Sampai di kamar, Kiera membungkus diri dengan selimut sambil berbaring. Ia menatap langit-langit atap dengan wajah tenang dan napas teratur. Ia melamun sambil sesekali berkedip lemah.
Apa yang aku mau? Aku udah terbiasa nggak punya apa-apa. Kak Reina punya semuanya dan aku nggak bisa lakuin apa pun buat mengambilnya. Meskipun aku mau, emangnya aku bisa? Aku akan tetap sama kayak sebelumnya, pecundang. Pengecut! Kiera membatin.
Kiera mendesah lelah sambil meremas selimutnya.
Aku nggak punya apa-apa. Nggak satu pun, pikirnya lelah.
Ia menutupi diri hingga ke kepalanya. Sekali lagi ia mendesah, kali ini lebih panjang dari sebelumnya.
Aku nggak punya apa-apa buat ngelawan dia. Nggak punya, batinnya melemah.
Kiera terpejam lama sembari memikirkan semuanya. Lalu sedetik kemudian ia menyingkap selimutnya seraya duduk dengan kecepatan tak biasa. Wajahnya berubah semringah berbingkai senyum menawan.
Aku punya buktinya! Aku punya! Aku bisa minta apa pun ke Kak Reina pakai bukti itu! Kamu bisa, Ra! kata Kiera dalam hati penuh kemenangan.
Dengan perasaan berbunga ia menulis sesuatu di note kecilnya.
Terima kasih banyak untuk semuanya, ucap Kiera dalam hati sembari menggoreskan tinta hitam di note itu.
Selesai menulis, Kiera kantas berlari keluar kamar. Ia mencari keberadaan Deva dan langsung memeluknya erat karena saking bahagianya. Ia bahkan sesekali melompat sambil memeluk lelaki itu. Rasanya bahagia sekali. Sangat bahagia.
Deva yang mengalami keterkejutan yang luar biasa karena mendapat serangan itu hanya bisa mematung tanpa berani membalas pelukan Kiera. Rasanya sesak namun, ada kesenangan yang menyelimuti benaknya. Haruskah Deva membalas pelukan Kiera? Atau terlalu lancang memeluknya dalam keadaan yang bisa dikatakan kebetulan?
Deva berdehem pelan, "Kamu nggakpapa kan?" kata Deva dengan nada ragu.
Saat itu pula Kiera tersadar sedang memeluk Deva tanpa permisi. Tenyata dia juga sedikit tidak sopan seperti Deva, begitu pikirnya. Cepat-cepat ia menjauhkan diri dari lelaki itu sambil tersenyum kikuk. Ia mundur sejengkal sambil menyelipkan helaian rambutnya ke telinga. Gadis itu membungkuk sejenak pertanda meminta maaf.
"Nggakpapa kok." Deva tersenyum tulus. Diam-diam ia menikmati wajah Kiera saat tersipu malu. Menggemaskan dan begitu imut dengan pipinya yang semakin merona. Deva bahkan sampai ingin mencubit pipinya jika saja diperbolehkan.
Dengan wajah masih merona, Kiera menunjukkan tulisannya kepada Deva. Ia langsung disambut senyuman hangat Deva yang mempesona.
Saat melihat raut bahagia Deva, detik itu pula Kiera baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang terlambat di sadari olehnya yaitu, wajah Deva terlalu sempurna, dan Kiera menyukainya. Begitu serasi dengan hatinya yang rupawan pula.
Tampan sekali.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...