-Revisi-
Kiera tanpa sadar berhenti di depannya begitu suara Deva menyapanya, namun ia sama sekali tak berniat menoleh.
"Mandi pakai air hangat kan?" Deva bertanya lagi, ia mendekat sambil mengucek matanya yang masih berat.
Kiera tetap acuh lalu berjalan memasuki kamar saat mendengar langkah kaki Deva yang kian mendekat.
"Ra?" Kiera tetap tak menanggapi.
Deva mengerutkan dahi saat Kiera memasuki kamar, mengira gadis itu tak mendengarnya. Ia mempercepat langkahnya namun, begitu sampai di depan kamar gadis itu menutup pintunya keras-keras dan hampir mengenai hidungnya jika lelaki itu tak segera menghentikan langkahnya.
Merasa masih diacuhkan, Deva hanya bisa mengetuk pintu seperti biasanya.
"Masih marah?" tanyanya polos, wajahnya murung dan sangat tak bersemangat.
"Nanti malam udah tahun baru loh, nanti aku, Lukman sama Taris bakar-bakar daging sama jagung di atap rumah, kamu ngambeknya jangan sampai nanti malam ya? Soalnya aku mau lihat senyum kamu nanti malam."
Lelaki itu tersenyum samar, bahkan itu tak termasuk hitungan senyumannya jika dibandingkan dengan setiap senyuman lebar yang biasanya terukir di wajah tampannya.
"Kamu minum obatnya lagi ya? Biar kamu nggak sakit lagi," ia masih menempelkan telapak tangannya di pintu kamar. Tanpa sadar dahinya menempel di pintu, ia memejamkan mata.
"Aku nggak tahu kenapa kamu bersikap kayak gini, tapi aku harap kamu bisa maafin aku atas kesalahan yang udah ku perbuat. Maafin aku, Ra."
Dari balik pintu Kiera bersandar, ia memejamkan mata sambil mencerna setiap kata yang ditujukan padanya, ia tak tahu kenapa mendengarnya saja sudah membuat jantungnya berdebar getir. Entah berdebar karena terlalu sedih, karena terlalu tersakiti, atau karena terlalu membenci Deva namun, Kiera tak ingin lebih lama berada di sini sebelum batinnya mengalahkan akal sehatnya, sebelum ia benar-benar tak bisa jauh dari tempat ini dan orang-orang di sekitarnya yang sejauh ini menganggapnya masih ada. Baginya semuanya hanya ilusi yang bisa musnah kapan saja, dan saat ini ia mulai menyadari kemusnahan itu, sebelum benar-benar kembali hancur ia lebih memilih pergi. Sama seperti sebelumnya, pergi dan tak akan kembali, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Setelah berkata sedemikian rupa, Deva beranjak dari sana, ia berjalan ke kamar mandi, setelah mandi ia segera ke dapur. Lelaki bertubuh jakung itu mulai memasak bubur dan membuat telur mata sapi. Tak lama kemudian ia selesai di dapur, Deva segera mengantarkan makanan yang masih hangat itu ke kamar Kiera.
"Jangan lupa sarapan ya? Aku taruh di sini sarapannya, Ra," ucap Deva setelah mengetuk pintu.
Sesudah meletakkan sarapan untuk Kiera di atas nakas, Deva berlalu dari sana.
Sementara Kiera yang masih di depan cermin hanya menoleh ke arah pintu sejenak lalu kembali menoleh ke cermin dengan raut datarnya sambil memegang gunting. Ia memandangi bayangan dirinya dan gunting secara bergantian seolah sedang menimang-nimang harus berbuat apa. Beberapa detik kemudian Kiera mengangkat gunting itu, ia mengarahkan pada rambut panjangnya yang sudah diikat rapi menjadi dua.
Aku akan pergi, akan berganti penampilan agar mereka nggak kenal aku, agar aku bisa pergi dengan mudah, batin Kiera.
Jemarinya mulai menggerakkan gunting itu, perlahan ia menggunting rambutnya yang telah diikat di sebelah kiri, setelah selesai barulah ia berganti ke rambutnya yang satu lagi. Dengan yakin ia memotong rambutnya meski sebenarnya sebelum ini ia belum pernah memendekkan rambutnya.
Setelah selesai Kiera menyisir rambutnya, ia memandangi dirinya di cermin, gadis itu tersenyum hambar. Ia mengingat sekilas ingatan waktu dirinya memotong rambut kakaknya sampai kependekan karena nekat memotongnya gara-gara melihat tutorial potong rambut di televisi.
Sekejap saja ia semakin melebarkan senyumnya, tanpa sadar ia sangat merindukan masa itu namun, sekejap juga ia merasa tersakiti mengingat kenangan tersebut.
Masa itu akan menjadi kenangan yang membahagiakan untuk diingat karena saat itu dirinya dan kakaknya jadi dimarahi ibunya karena dulu beliau masih ada dan semuanya masih baik-baik saja. Namun, jika melihat kondisi Kiera yang sekarang hanya membuat separuh dirinya tertinggal di sana dan lebih memilih yang separuhnya lagi karena meminta dirinya melupakan kenangan itu, kenangan yang seharusnya masih terasa hangat untuknya, tetapi saat ini hanya akan membakar dirinya sampai ke titik terakhir.
Lupakan, lupakan.
Kiera menggelengkan kepala berusaha menyingirkan gambaran masa lalu. Bersamaan dengan itu perutnya berbunyi nyaring, sepertinya perutnya sudah lapar, cacing di perutnya sampai menjerit sebegitu kerasnya. Gadis itu sampai meringis mendengar suara perutnya.
***
Sampai seharian penuh Kiera mengunci diri di kamar, seperti biasa gadis itu hanya melakukan hobinya yaitu dance. Sampai malam begini pun gadis itu belum juga mengisi perutnya.
"Ra, makan dong?" suara Deva terdengar dari balik pintu setelah suara ketukan pintu. "Sarapan enggak, makan siang enggak, sekarang udah jam 23.30 kamu masih belum makan juga? Nanti kamu sakit lagi, gimana?"
Dari balik pintu lelaki itu menggaruk rambutnya sendiri, "Ku taruh makanan buat kamu di sini."
Sekali lagi Deva meletakkan makanan di atas nakas untuk Kiera.
"Harusnya kamu keluar kamar, Ra. Kita seneng-seneng di atap rayain malam tahun baru." Deva beranjak dari sana.
Kiera mendengarnya, lagi-lagi Kiera bungkam sambil perlahan duduk di lantai, ia hanya menoleh sejenak ke arah pintu dengan wajah lelah. Lelah karena terlalu lama nge-dance tentunya.
Ia tahu malam ini memang tahun baru, tetapi dia tak ingin merayakannya karena dirinya sama sekali tak tertarik dan sudah lama juga Kiera tak merayakannya. Ia hanya tidak terbiasa, itu saja. Meskipun Taris tadi sempat memaksanya dan menyeretnya keluar kamar, tetap saja ia kembali lagi ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam agar ketenangannya tak terganggu.
Setelah beberapa menit kemudian ia kembali menoleh ke arah pintu, rasa laparnya tak lagi tertahan. Gadis itu lantas berdiri dan berjalan ke arah pintu, perlahan sekali ia membuka pintu dan mengintip ke sekitar untuk memastikan Deva tak ada di sana. Setelah merasa aman gadis itu segera menyahut makanan itu lalu kembali menutup pintunya rapat-rapat. Dengan langkah lebar ia mendekati kasur lalu duduk di sana. Menyendok makanan itu lalu menelannya.
"Ra?" panggil Deva dari balik pintu, kontan saja Kiera tersedak.
"Ra?" lelaki itu masih memanggilnya, tetapi Kiera mengabaikannya dan lebih memilih meraih segelas teh hangat di atas nakas kemudian meneguknya secara buru-buru sebelum yang tersisa darinya hanyalah nama. Hampir saja ia kehabisan napas kalau dia tak segera meneguk air sebanyak mungkin.
Saat ini ia mengatur napasnya agar merasa lebih baik. Gadis itu merasa kesal, sangat kesal karena mendengar namanya terus dipanggil oleh Deva, lelaki yang sangat menyebalkan baginya.
"Ra, buruan," Deva masih mengetuk pintu dengan tak sabaran. Kontan saja Kiera kesal, gadis itu berlarian kecil mendekati pintu, membuka pintu itu dengan kecepatan super seperti akan membanting pintu itu sampai remuk saja.
Begitu pintu terbuka, Deva segera menatapnya dengan mata berbinar lalu menyambar tangan gadis itu seperti kesetanan, " Ikut aku."
Lelaki itu terus menyeret Kiera sampai ke atas loteng rumahnya, di sana sudah ada Lukman juga Taris.
"Ini dia!" Deva melepas tangan Kiera dan menunjuk langit. Tepat saat itu juga langit mulai bercahaya dengan bunyi letusan hebat.
"Selamat tahun baru, Ra."
***
Selamat tahun baru, guys! Semoga di tahun kemarin kalian berhasil gapai keinginan kalian, dan yang masih belum kesampaian moga di tahun ini apa yang kalian inginkan segera kesampaian. Aamiin.
Tetep semangat, tetep sehat, dan tetep bahagia ya?! 😙
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...