Epilog

4.6K 104 0
                                    

-Revisi-

Sambil bergandeng tangan Deva dan Kiera berjalan beriringan dengan langkah ringan yang teratur. Saling tersenyum ketika pandangan keduanya bertemu. Menembus keramaian tanpa merasakan adanya sedikit keraguan. Mungkin inilah yang dinamakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Dalam hati Kiera yang sebelumnya hanya terisi ketakutan saja kini terasa meluap-luap karena terlalu senangnya. Ia merasa tubuhnya seringan kapas seakan bisa membuatnya terbang bersama Deva. Menyenangkan sekali.

Dulu, Kiera pernah merasa seolah jantungnya mendadak terhenti katika berada dalam keramaian. Pernah merasa cemas yang berlebihan sampai gemetar hebat ketika berpapasan dengan orang lain.

Dia tak bisa berhenti berpikir jika ada kesalahan kecil seperti melepaskan tudung kepala dan maskernya maka semua orang di sekeliling Kiera akan menatap lalu seketika menyergapnya. Dan seperti biasa itu akan berakhir buruk pada gadis itu.

Kemudian pikiran yang tertanam di kepalanya hanyalah kata andai. Berandai-andai seolah semua akan membaik seiring waktu. Sering kali menyalahkan diri sendiri meski dalam keadaan terpuruk. Merasa terluka, tersakiti, dilupakan dan semakin menyesakkan di setiap langkahnya.

Selama ini Kiera tak memiliki orang lain untuk dipercaya. Ia pun tak ingin mempercayai orang lain. Dan pemikirannya hanya terpaut pada satu hal saja yaitu tak akan membiarkan dirinya memberikan kepercayaan pada orang lain dengan menerima sikap peduli atas mereka. Hanya itu.

Sampai akhirnya Kiera bertemu dengan Deva. Lelaki sederhana dengan sikap lembut dan segala ketulusannya.

Awalnya Kiera meremehkannya, menganggapnya sama seperti manusia lain. Dan kerap kali mengacuhkan sikap baik lelaki itu padanya. Tapi setelah lama berada di dekatnya, perlahan Kiera menyadari adanya perbedaan antara Deva dengan orang lain di sekelilingnya. Dia berbeda dan memiliki sifat tulus yang berlebihan. Jujur saja itu tak baik untuknya karena ia menjadi seorang yang terlalu baik untuk Kiera, begitulah pikiran Kiera terbentuk. Karena dia sendiri terlalu takut jika suatu saat dengan sengaja atau tidak, Kiera akan mempercayainya.

Lalu, pada akhirnya ketakutannya menjadi nyata. Tapi sama sekali, Kiera tak menyesali itu.

Kini Kiera benar-bentar mempercayai Deva. Tiada keraguan setiap kali menatap mata teduhnya. Bahkan Kiera merasa kuat karena adanya dirinya. Dia yang meraih tangan Kiera di saat gadis itu terjatuh. Dia yang menemani Kiera ketika tiada orang lain yang mempercayainya. Dia tetap bertahan dengan sikap acuh Kiera. Dia yang meruntuhkan kuatnya keangkuhan dan segala ketidak sempurnaan Kiera.

Di saat Deva menggenggam erat jemarinya seperti ini, rasanya menyenangkan. Kehangatan di mata maupun di jemarinya membuat Kiera merasa aman bersamanya. Kiera berharap kebahagiaan ini tak akan pernah berpaling darinya.

"Udah sampai. Silakan masuk Tuan Putri, " kata Deva membuyarkan lamunan Kiera.

Lelaki itu membuka pintu rumahnya sembari tersenyum manis pada Kiera. Gadis itu hanya membalas senyumannya lalu memasuki rumah yang sudah tak asing lagi untuknya. Rasanya ia merindukan rumah ini setelah semalaman tidak berada di dalamnya. Seakan ini adalah rumahnya sendiri.

Ketika itu pula Kiera merasa seperti kembali pada berapa waktu yang lalu, jauh sebelum dia mengenal Deva lebih baik dari ini. Ia teringat kehangatan Deva di setiap sudut rumah ini, dan teringat sikap dingin Kiera pula hingga tanpa sengaja ia terkekeh kecil kala mengingatnya.

Deva mengerutkan dahi seraya menundukkan kepala guna menatap Kiera, "Kenapa? ada yang aneh?"

Kiera menggeleng kecil sambil membalas tatapannya, "Makasih."

Deva refleks mengangkat alisnya, "Untuk apa?"

"Untuk semuanya," jawab Kiera dengan seulas senyum.

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang