-Revisi-
Ish, lama banget! Mana mati listrik lagi, batin Kiera sambil memeluk diri sendiri, sekarang dia menyesal karena tak sempat mengenakan jaket.
Setelah beberapa menit berlalu Kiera mulai lelah menunggu, dia memutuskan berjalan memasuki rumah Deva, beberapa kali kakinya tersandung hingga membuatnya terhuyung, tapi dia tetap berjalan untuk mencari meja di ruang depan meski dalam keadaan gelap gulita. Jika bukan karena Bu Asta, pastilah Kiera tak akan sampai seperti ini.
Begitu Kiera menemukan meja lantas ia meletakkan wadah di tangannya itu dengan hati-hati. Saat meletakkan wadah tersebut Kiera sempat menyenggol sesuatu, dan...
Prang!
Sesuatu itu pecah di lantai. Begitu Kiera mencoba menjauh, kakinya malah menginjak pecahan itu. Dan membuat kakinya terluka.Dia sampai jatuh ke belakang karena tak bisa berdiri lama dengan kakinya yang terasa sakit.
Semakin lama telapak kakinya terasa semakin perih, membuat Kiera tanpa sadar mendesis kesakitan. Dengan kondisi seperti ini, dia yakin tak bisa berdiri apalagi berjalan. Padahal luka di lulutnya masih nyeri, dan sekarang lukanya malah bertambah lagi. Malang sekali nasibnya.
Terdengar suara hentakan kaki Deva yang kian mendekat, terdengar seperti berlari tergopoh-gopoh. Sebelum Kiera mendongak ia sudah mendengar suara Deva, kemudian bayangan lelaki itu terlihat di depannya.
Kiera memukul pelan meja di depannya agar Deva menemukannya.
Deva mendekat dengan hati-hati, beruntung ia memakai sendal memudahkannya menyingkirkan serpihan beling di sekitarnya.
"Pegang tanganku, Ra," Deva mengulurkan tangan begitu mengetahui keberadaan Kiera.
Kiera yang masih menahan sakitnya mencoba meraih tangan Deva lalu berdiri secara perlahan.
"Pegang tanganku dulu. Aku mau bersihin sofanya biar kamu bisa duduk," Deva tersenyum kaku. Tentu saja dia malu dengan keadaan rumahnya.
Setelah menyingkirkan beberapa pakaian kotor yang tadinya berserakan di atas sofa, Deva membantu Kiera duduk di sana.
"Maaf berantakan," lagi-lagi ia tersenyum kaku. "Aku cariin lilin sama obat dulu."
Deva menghambur pergi setelah Kiera mengangguk pelan.
Sepeninggal laki-laki itu Kiera memandang ke sekeliling, ia sedikit risi melihat betapa berantakannya rumah Deva. Sungguh Kiera tak habis pikir bagaimana bisa Deva bertahan dan betah hidup dalam keadaan rumah sekotor ini?
"Maaf lama," Deva datang menghampiri dengan membawa lilin menyala dan kotak P3K di tangannya.
Lilin merah berukuran besar itu diletakkannya di atas meja, dalam sekejap cahaya lilinnya menyebar menerangi sekitar membuat suasananya terlihat jauh lebih hangat.
Dengan gerakan kikuk Deva mendaratkan diri di sofa, "Kakinya mau ku obati. Boleh aku?" ucap Deva sambil menatap Kiera, tangannya berada di atas kaki Kiera sebagai isyarat meminta ijin memegangnya.
Kiera mengangguk ragu, tanpa sadar ia menggigit bibir.
"Nggak akan sakit," Deva berucap seakan tahu ekspresi Kiera di balik masker yang menutupi wajahnya.
Perlahan tangan Deva memindahkan kaki Kiera ke pahanya lalu mulai mengobati luka itu.
Sekitar beberapa menit kemudian luka itu sudah tertutup rapi oleh perban. Pelan-pelan Deva meletakkan kaki Kiera di atas sofa, membiarkan Kiera menjulurkan kaki agar merasa lebih baik.
"Mending kamu jangan pulang dulu, soalnya masih hujan," Deva menyarankan.
Kiera hanya diam saat mendengarnya, ia melupakan hal itu. Di luar hujan dan kondisinya sekarang seperti ini, parahnya lagi dia bersama dengan Deva di tempat yang bahkan tak layak untuk di sebut rumah.
![](https://img.wattpad.com/cover/153778962-288-k925821.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...