-Revisi-
Lukman dan Taris sedang makan malam bersama Nisa di kafe. Kali ini entah kenapa Nisa mau ikut meski harus menjadi obat nyamuk di antara keduanya. Menyebalkan namun, menyenangkan. Menyebalkan karena harus melihat pemandangan yang menyiksa diri, menyenangkan karena bisa berbaikan dengan Taris sebelum besok kembali terbang ke negeri tetangga demi belajar.
"Makan Nis, jangan ngelihatin kita segitunya kali. Makanya cari cowok dong biar nggak iri," ledek Taris dengan tampang bangga seperti biasanya.
Lukman hanya mengacak puncak kepala Taris, gemas rasanya mendengar ocehan receh pacarnya.
"Ish! Ngeselin," gerutu Nisa dengan ekspresi manyun. Ia menyendokkan nasi ke mulutnya lagi, mengunyahnya pelan-pelan.
Nguuung!
Suara mikrofon mendengung membuat semua mata tertuju ke arah panggung.Nisa yang tak suka dengan bunyi nyaring itu otomatis menunduk sembari menutupi telinga. Telinganya berdengung sempurna kali ini.
"Selamat malam. Mohon perhatiannya sebentar," sebuah suara familier terdengar di telinga Nisa. Kontan saja Nisa mendongak menatap seseorang itu.
Mata Nisa membulat lebar menatap sosok lelaki pembawa gitar di sana, ia mengenalnya, bahkan dari suaranya saja dia sangat hafal dengan baik. Apa ini mimpi? begitu pikir Nisa karena saking terkejutnya. Ia tak mengira Lukas akan kemari juga. Terlebih sedang menatapnya dari atas panggung.
"Di sini saya akan membawakan lagu ciptaan saya sendiri untuk seseorang yang sangat istimewa. Dan sekarang dia ada di sini, kebetulan dia sedang menatap saya. Jadi, ijinkan saya benyanyi untuknya di sini. Terimakasih."
Sorak dan gemuruh tepuk tangan terdengar bersahutan di setiap sudut kafe. Diantara mereka bahkan ada yang menyerukan nama Lukas dengan teriakan histeris.
Lukas bilang apa barusan? batin Nisa tak yakin.
"Lukas lihatin kamu, Nis! Sana maju ke depan," Taris menendang kecil sepatu Nisa. "Jarang-jarang tahu dinyanyiin sama penyanyi gans."
Nisa tak bisa mendengar siapa pun kali ini. Perhatiannya hanya tertuju pada kedua mata Lukas, kini dia mulai menikmati alunan gitar yang di mainkan lelaki itu. Dalam hati ia berharap, ini bukanlah sekadar mimpi. Tapi jika ini nyata rasanya ingin sekali dia menjewer telinga Lukas mengingat tangannya masih berbalut gips seperti itu. Harusnya dia mengistirahatkan tangannya bukan? Tapi Nisa tak yakin pula bisa menjewer telinga Lukas tanpa adanya rasa takut seperti yang dibayangkannya.
"Hai kamu yang di sana. Apa kabar cantik?" Lukas mulai bernyanyi. Bibirnya tetap tersenyum meski sambil bernyanyi.
Nisa mengerjap mendengar suara emas Lukas. Ini pertama kalinya dia mendengar suaranya secara langsung saat bernyanyi. Sungguh merdu sekali, dan ya, ini teramat mengesankan untuk Nisa.
Untuk alasan apa pun ia tak akan melewatkan satu nada pun yang dinyanyikan Lukas di sana. Entah untuknya atau bukan, tapi ia tak akan membuang kebahagiaan ini begitu saja. Bahkan jika harus menerima sikap kasar Lukas lagi. Mungkin itu akan sepadan nantinya, hanya itu yang dipikirkannya.
Tak terasa Lukas selesai bernyanyi. Suara riuh dan tepuk tangan terdengar bersahutan begitu kerasnya, suasana yang menyenangkan untuk penampilan mengagumkan. Sungguh, sempurna.
Tapi sekali lagi, Nisa masih dalam kebahagiaanya sendiri, ia sampai tak bisa berekspresi apa pun selain tersenyum dengan wajah semanis itu. Bahkan telinganya tak lagi peka dengan suara Lukas yang memanggil namanya berulang kali. Taris sampai harus mencubit tangannya supaya gadis itu tersadarkan diri.
"Nisa?! Lukas nyapa kamu tuh!" Taris tak sabaran.
Nisa terperanjat merasakan sakitnya, "Apa?" ia linglung dalam seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...