Lebih Baik

2K 116 0
                                    

-Revisi-

Kiera menoleh ke belakang dan mendapati Deva yang setengah memicing menatapnya serius. Kalau saja tak hafal dengan sikap Deva yang selalu mengejutkan dirinya, mungkin ia akan kesal namun, Kiera sudah terbiasa dengan itu. Ia hanya menarik tangannya secara paksa karena tahu Deva akan mencekalnya dengan kuat.

"Mau kemana?" Kiera acuh dengan pertanyaan Deva.

"Ku anterin," Deva beranjak dari kursi dan mendekat.

Karena serangan pusing, Kiera jadi diam sejenak di tempatnya berdiri. Gadis itu memegangi kepala sambil terpejam.

"Kamu pusing?" Deva bertanya, ia hendak memegangi Kiera agar tak terjatuh, tapi Kiera segera menepisnya.

"Ku bantu, Ra," Deva memohon.

Kiera mengabaikannya lalu berjalan menuju dapur. Sesekali langkahnya sempoyongan membuat Deva refleks memeganginya dan akibat dari itu Kiera jadi mendorong Deva menjauh darinya.

Sampai di dapur Kiera mengambil minum, ia menuangkan air dari teko dengan tangan gemetaran, sepertinya efek karena sakit membuat Kiera tak kuat mengangkat teko berukuran sedang di tangannya.

Melihat gerakan Kiera yang terkesan kesulitan membuat Deva otomatis mendekat meraih teko tersebut, menuangkannya meski dilayangkan tatapan tak suka oleh gadis di depannya. Jika saja mata Kiera dapat mengeluarkan laser, mungkin kepala Deva sudah bolong dalam hitungan detik karena menerima tatapan kesalnya. Ia tahu Kiera tak suka dengannya, tapi Deva lebih tak suka lagi jika melihat Kiera kesulitan, meskipun dalam hal kecil.

"Minum," kata Deva.

Kiera tak suka menuruti Deva namun, rasa haus di tenggorokannya membuat Kiera tak bisa menolak kebutuhanya. Ia tetap meminumnya dengan tangan yang masih gemetaran, padahal Kiera sudah memegangnya dengan kedua tangan.

Kiera selesai minum, ia meletakkan kembali gelasnya di atas meja makan, lalu beralih menatap Deva dengan ekspresi terlihat lelah namun, terkesan kesal. Seakan mengatakan betapa ia tak suka melihat Deva berada di dekatnya.

Meski paham dengan ekspresi itu, namun Deva tak akan menjadi kesal pula karenanya. Deva selalu saja menanggapinya dengan senyuman, senyuman yang begitu tulus, "Aku tahu, aku ganteng," guraunya.

Kalau saja Kiera terpesona dengan wajah tampan Deva, mungkin ia akan terpukau kagum padanya. Apalagi melihat senyumannya, jika lelaki itu sudah tersenyum, wajahnya menjadi semakin mempesona seakan senyumnya benar-benar tulus hanya untuk Kiera. Berbeda dengan Kiera karena ia mengartikannya dalam hal lain, Kiera menganggap senyuman itu palsu semata dan memiliki arti lain, membuat Kiera jadi ingin menjambaknya saja jika bisa, tapi di sisi lain ia sendiri tak ingin melakukan hal bodoh seperti itu. Seperti biasa dengan sikap dingin andalannya Kiera hanya membuang muka lalu beranjak pergi.

Tanpa berkata apapun lagi, Deva tetap mengikuti dari belakang.

Di tengah langkahnya tiba-tiba Kiera berhenti, ia merasa lemas rupanya, merasakan perutnya yang panas dan semakin perih.

Deva yang berada di belakangnya juga terhenti sampai hampir menabrak punggung Kiera. Ia menatap heran Kiera yang saat ini berpegangan pada dinding sambil menunduk. Terlihat seperti menahan sakit.

"Ra?" panggil Deva kuatir.

Kiera tetap membeku di tempatnya sambil terpejam, membuat Deva tak lagi berpikir panjang sehingga tanpa permisi Deva langsung saja mengalungkan tangan Kiera di bahunya lalu menggendong Kiera dengan mudah seakan tubuh Kiera seringan kapas. Lalu ia berjalan menuju kamar.

Kiera yang sedang dalam keadaan lemas hanya bisa menurut atas perlakuan Deva. Wajahnya pucat, kepalanya terasa berdenyut, pening dan berat. Tanpa sadar Kiera menempelkan kepalanya di bahu Deva. Entah kenapa saat itu pula ia merasa begitu aman, seperti berada di tempat bersandar paling nyaman dari apapun. Akal sehatnya ingin menampar lelaki itu karena berani menggendongnya tanpa permisi, tetapi batinnya berkata sebaliknya, seperti bertolak belakang tanpa alasan yang tidak dimengerti olehnya.

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang