-Revisi-
Hari sudah pagi, tapi sepertinya matahari masih bermalasan dengan selimut awan abu-abunya, membuat cahayanya terlihat minim melewati celah awan. Udara pagi terasa dingin hingga menusuk tulang, khas aroma tanah basah setelah hujan pun begitu menyegarkan, terlalu sayang untuk dilewatkan.
Kiera yang memang sudah bangun sejak subuh tadi pun tak ingin melewatkan embun pagi meski seperti ini, ia sedang menikmati suasana pagi di atap rumah sambil berlarian kesana-kemari di sekitar batas balkon. Sesekali ia melompat dan menggerakkan tangannya ke atas juga ke bawah, sepertinya ia terlihat ceria hari ini.
Deva yang masih tidur jadi terbangun mendengar suara gaduh berasal dari atap. Lelaki itu segera menyingkap selimutnya, melipat kain gelap tersebut dengan rapi.
Sambil memicingkan mata, Deva melihat ke sekeliling, ia tak mendapati Kiera dimana pun, pintu kamarnya juga terbuka, dari situlah Deva langsung tahu jika yang berisik di atas memanglah Kiera.
Lelaki itu segera mencuci muka dan menggosok gigi seperti biasannya. Ia merasa sepi tiada gadis itu di sekitarnya membuatnya tanpa pikir panjang segera menyusul ke atas.
Begitu sampai di sana, Deva memperhatikan Kiera dari jauh. Ia duduk di bangku loteng sambil berpangku tangan dengan senyum mengembang. Melihat Kiera seceria ini merupakan hal paling langka untuknya, bahkan dalam mimpi pun Deva yakin Kiera tak akan mau tersenyum padanya.
Sedangkan yang diperhatikan dari jauh hanya bersikap seperti biasa sebab merasa tiada yang memperhatikan. Setelah puas pemanasan Kiera meletakkan ponselnya di atas nakas, ia memutar musik kesukaannya dan mulai menggerakkan tubuh dengan gerakan dance andalannya. Dalam sekejap gadis itu terlihat bahagia dan begitu bersemangat.
Di sudut loteng Deva menatapnya takjub, ia juga jadi ingin ikut bergerak sepertinya namun, sayang tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak seperti itu. Mungkin gerakannya memang terlihat mudah, tapi jika dipraktekkan langsung pasti akan lebih sulit, apalagi untuk ukuran Deva yang memang tak pernah tahu gerakan dance. Olahraga saja ia tak pernah, dance apalagi. Sudahlah, biarkan saja lelaki itu ternganga di tempatnya sampai Kiera selesai.
Tak terasa musik yang diputar sudah berhenti, otomatis juga Kiera selesai dengan gerakannya. Merasa haus ia memutuskan beranjak dari sana, tapi begitu berbalik Kiera mendelik kaget. Gadis itu mematung di tempatnya melihat Deva terdiam di sudut loteng dengan ekspresi melongo. Sedetik kemudian lelaki itu bertepuk tangan heboh seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan balon. Sungguh, ekspresinya itu membuat Kiera tersipu malu sampai hanya bisa menundukkan kepala.
Deva mendekat dengan masih menatapnya, "Barusan itu keren banget."
Kiera mendongak, ia tersenyum menatapnya. Kali ini ia tak ragu lagi untuk membalas senyuman Deva. Entah kenapa ia sendiri sekarang lebih banyak tersenyum jika sedang bersamanya. Sepertinya rekor senyumnya juga meningkat akhir-akhir ini.
"Oh ya! Kemarin aku lupa nanya, kenapa rambutmu dipotong?"
Kiera hanya mengerjap tak tahu harus menjawabnya apa.
Merasa Kiera tak ingin menjawabnya, Deva segera mengalihkannya ke pembicaraan yang lain, "Ra, mau nonton nggak?" pertanyaannya itu mampu membuat Kiera mengerjap beberapa kali.
Nonton? Kiera membatin.
"Mau? Mau ya?" Deva mendesak.
Kiera tampak ragu. Sepertinya ia tak setuju dengan idenya.
"Kalau nonton nggak mau, gimana kalau jalan-jalan?" Deva memasukan tangan ke saku karena kedinginan. "Mau?"
Perlahan senyum Kiera mengembang di sudut bibirnya. Gadis itu mengangguk kecil menyetujui Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...