Freya

5.2K 419 175
                                    

Sambil menarik nafas panjang, kuperjelas benda itu dengan seksama.

Ketakutanku seolah menjadi nyata, alat kecil itu menunjukkan garis dua berwarna merah.

Jantungku seperti berdetak sepuluh kali lebih kencang. Aku merasakan lubang hitam di dadaku kembali menganga selebar-lebarnya.

Begitu kutatap Navyn kembali, dia sudah menangis dengan wajah yang sangat depresi.

ADARA

Seketika aku mati rasa, aku seperti orang linglung yang tidak sadar dengan apa saja yang kulakukan.

Aku keluar dari toilet dengan tertatih, berjalan sambil meraba-raba dinding kamar, sekuat tenaga berusaha agar tidak sampai terjatuh. Nafasku terhela satu-satu, entah kemana semua oksigen disekitarku, rasanya sesak sekali. Aku terduduk di pinggiran tempat tidur dengan mata yang mulai nanar.

Tidak, aku tidak menangis, bahkan aku tidak punya tenaga untuk itu.

Aku hanya bisa terpejam, untuk beberapa saat aku meresapi kesakitan yang merasuk ke tiap inci hatiku. Semoga ini mimpi. Semoga ini hanya mimpi buruk. Jika ya, aku ingin lekas terbangun dari kesengsaraan ini.

Sambil menghela nafas panjang, kubuka mataku perlahan dan kembali menatap benda kecil yang sejak tadi masih kugenggam erat, berharap terdapat perubahan pada alat itu.

Tapi ternyata nihil, tanda dua garis berwarna merah masih jelas terbaca disitu.

"BRENGSEK!!" kulempar benda itu kesembarang arah.

Kuusap wajahku dengan kasar, aku emosi luar biasa, tapi sialnya aku tidak bisa mengekspresikannya sama sekali.

"B-baby...." tiba-tiba saja Navyn sudah berdiri didepanku.

Aku masih terdiam, masih mengusap wajahku berulang-ulang, bahkan tatanan rambutku mulai berantakan. Dengan lemah aku menelungkupkan kepalaku diatas lutut, aku tidak ingin melihat wajah Navyn. Tidak untuk saat ini.

Navyn mengusap hidung dan matanya dengan punggung tangan. Isaknya terdengar parau ditelingaku. Dia pasti sedang berusaha menghapus airmatanya yang tidak mau berhenti mengalir itu.

Beberapa saat yang terasa bagai seabad. Aku masih terdiam, dan Navyn bagai lupa bagaimana caranya bernafas.

Dalam keheningan kami, Navyn seakan takut melakukan pergerakan. Hingga akhirnya dia merunduk ke bawah, berlutut dihadapanku dengan sikap kaku, aku bisa merasakan dia ragu-ragu untuk menyentuhku.

Perlahan tangan lembut itu mulai mengusap kepalaku dengan gemetar, berulang-ulang, diiringi tangis yang mulai memecah keheningan.

"Baby maafin aku, maafin aku.... Maafin akuuu.... Hiks...." Navyn meletakkan kepalanya diatas kepalaku, menyalurkan kepedihannya padaku hingga ke tulang sumsum.

Aku kaku, dingin seperti es, tidak bergerak sedikitpun. Helaan kasar nafasku tiba-tiba terhenti saat satu-dua tetes airmata Navyn jatuh ke lenganku.

Navyn menarik kepalanya dan seketika suasana terasa hening. Dapat kurasakan saat ini dia sedang memperhatikanku lekat-lekat.

ADARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang