24 :: Welcome back

1.2K 91 0
                                    

Melalui jadwal penerbangan pertama, akhirnya Reitama dan Liliana sampai di Ibukota Jakarta.

Waktu sudah mulai sore, namun bukan Jakarta namanya kalau tidak mecet. Reitama terus menggerutu kesal saat taksi yang ia dan Liliana naiki tidak kunjung bergerak karena kepadatan kendaraan.

Belum lagi suara klakson mobil yang membuat kepalanya pening, ia jadi keki sendiri saat melewati Bundaran HI ini.

Emosinya sudah naik ke ubun-ubun, Reitama memutuskan menyembulkan kepala di jendela yang terbuka. "Woi, lo jalan! Jangan diem aja, gak liat ada yang buru-buru!"

Pengguna motor yang menghalangi taksi tumpangan Reitama itu hanya mendelik sembari menjalankan motornya dari keganasan remaja berusia tujuh belas tahun itu.

Liliana yang sejak tadi memperhatikan pun hanya mengusap pundak Reitama. "Sabar, jangan marah-marah terus."

"Gimana gue gak marah, pengendara motornya bego semua. Udah tau jalanan lega, malah ngalangin mobil yang gak bisa nyalip!" bentak Reitama, kembali ke posisi awal.

Entah kenapa akhir-akhir ini ia menjadi sosok emosional yang gampang marah, semuanya berawal dari ke-geraman Reitama yang belum sempat memberi pelajaran pada Gavin. Maka dari itu, amarahnya tak kunjung menguap.

"Marah-marah mulu kek cewek PMS," ucap Liliana yang berupa gumanan.

"Apa lo bilang?!"

"Eh, enggak-enggak." Liliana menatap Reitama dengan cengiran khasnya, sedangkan cowok itu hanya menanggapi dengan memutar bola mata malas.

"Lo gimana sih, tadi nangis kejer. Tapi sekarang malah berubah konyol lagi," ketus Reitama, mengalihkan padangan keluar jendela.

Sempat terputar diotaknya, Liliana yang terus menangis di pesawat hingga menarik perhatian semua orang.

"Tama, mau liat Lily nangis terus?" Liliana memajukan bibir bawahnya.

Menatap cowok itu dengan mata berkaca-kaca dan wajah yang kucel karena habis menangis. Muka Liliama sudah tak karuan lagi, bahkan ia merasa seperti orang gembel.

Tanpa melihat Liliana, Reitama menjawab. "Terserah kalau lo mau nangis lagi, gue gak larang."

"Ih, kok jadi jutek gitu sih." Liliana berucap manja.

"Nggak, b aja."

"Tuh, kan. Tama tuh ken──"

"Bisa diem gak, gue puyeng denger suara cempreng lo terus. Dah sekarang diem! Jangan bicara!" perintah Reitama tak terbantahkan lalu membuang muka.

Liliana memberenggut sembari memajukan bibirnya seperti bebek, sedari tadi tangannya terus menggenggam ponsel. Menunggu panggilan telepon masuk.

Dari pada terus menghadap Reitama yang entah mengapa menjadi galak, Liliana memilih menatap keluar jendela. Pukul 04.20 sore. Tapi langit kota Jakarta masih terang benderang, seketika Liliana kangen sama teman-temannya yang masih berada di Bali.

Bertepatan dengan itu ada sebuah panggilan telepon masuk, Liliana langsung mengangkatnya kala melihat nama 'Mama' tertera di layar ponsel.

"Halo, ma. Gimana sama keadaan papa?" tanya Liliana sebagai pembuka kata.

"Alhamdullilah, udah lebih baik," ucapan itu terdengar lebih tenang dibanding beberapa waktu lalu, "kamu udah sampai di Jakarta, sayang?"

"Udah, Ma. Bareng Tama, sesuai yang mama mau."

Reitama menoleh saat namanya di sebut.

"Yaudah kalau gitu," ucap mamanya, "mama boleh minta tolong gak, Li?"

Hide Feelings〔✔〕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang