55 :: Berdetak Lebih Cepat

981 81 0
                                    

"Sekarang ngerti kan apa yang harus kamu lakuin? Demi dia, Tam! Gantian kamu yang berjuang dong! Masa anak Papa letoy banget." Arian menepuk pundak Reitama beberapa kali sebelum laki-laki itu beranjak keluar dari ruangan.

Meninggalkan Reitama sendiri dengan pikiran cowok itu yang selalu terngiang pada ucapan Arian beberapa menit lalu, seperti:

"Mending berjuang buat apa yang pantas diperjuangkan."

"Tapi kamu ngebohongin perasaan sendiri!"

"Nak, kalau suka tuh bilang aja."

"Jangan sampai kamu bikin perempuan menunggu, mereka itu makhluk yang paling tempramental kalau soal perasaan."

"Brengsek!" umpat Reitama pada dirinya sendiri, karena baru menyadari suatu hal yang selalu ada di depan matanya tapi malah Reitama anggap itu hanya hembusan angin semata.

Lagipula, jika dipikir-pikir kalau Reitama juga 'memiliki-perasaan-yang-sama' pada gadis mungil itu. Reitama tidak memiliki kesempatan, Jason memiliki Liliana. Mereka masih dalam naungan status hubungan yang sama dan Reitama sendiri agaknya tidak mungkin jika harus menghasut Liliana untuk memutuskan Jason.

Itu bukan Reitama banget!

"Sadar, Tam! Sadar! Perempuan itu cuma bisa ngerepotin idup lo, cuma bikin repot! Apalagi yang spesiesnya kayak Lily! Hilap, lo, hilap!" dengus Reitama sembari menjambak rambutnya pelan.

Untuk sekedar informasi, hari ini Reitama sudah bisa dipulangkan ke rumah oleh dokter. Jadi seluruh tubuhnya sudah terlepas dari perban-perban sialan yang mengganggu penglihatan semua orang hingga membuat salah fokus. Dan hanya tersisa dahi dan perut Reitama yang masih diperban, itu tidak masalah bagi Reitama.

"Terus Shila?" gumam Reitama dalam hati, sempat melupakan perempuannya.

Sejujurnya, Reitama masih belum bisa menerima. Ia tak bisa mengakui kalau Shila yang ia lihat beberapa waktu lalu bukan perempuannya. Wajah cewek itu benar-benar 'Shila banget' hingga membuat Reitama hilang konsentrasi karena terlalu dibutakan oleh rindu.

Tapi mengingat preman-preman itu, Reitama kembali menggunakan logikanya ketimbang hati. Darren menipunya! Dia bilang kalau lokasi penyekapan itu ada dipinggir jalan dekat dengan supermarket. Tapi pada kenyataannya, Reitama berakhir babak belur. Bahkan nyawanya hampir melayang kalau saja waktu itu tidak ada Liliana dan Reitama berakting pura-pura dalam keadaan sekarat.

Padahal waktu itu Reitama tau betul, dia hanya mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya lemas tapi Reitama tidak kehilangan napasnya seperti orang-orang dalam kondisi sekarat lainnya bila habis dipukuli.

Maka, yang menjadi sebuah tanda tanya besar yang sampai sekarang masih tak bisa Reitama pecahkan adalah:

"Kalau Shila emang udah beneran mati sesuai realita, terus Shila yang waktu itu gue liat itu siapa? Kenapa Darren ngejebak gue? Dia cuma cowok konyol, bolot dan tolol yang gak mungkin bisa ngelakui  hal sekeji itu kan?"

"Harusnya dari awal gue pake logika, bukan malah ngikutin perasaan yang bikin gue celaka kayak sekarang," kata Reitama sembari menghela napas pelan setengah menyesal karena perbuatannya beberapa waktu lalu.

~•~

"TAMAA! YUHUU... LILY KAMBEK!"

Reitama tidak tau, kenapa teriakan melengking itu sudah tidak lagi menjadi pengganggu dipendengarannya. Ia hanya diam, sambil memperhatikan gerak-gerik Liliana yang menaruh sekotak buah di atas nakas. Cewek berbadan mungil dengan rambut tergerai panjang itu lalu duduk di sebelah brankar Reitama.

Hide Feelings〔✔〕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang