Gavin memarkirkan motor hitamnya saat sudah sampai di depan halaman rumah seseorang, ia melepaskan helm full face di kepalanya. Sedikit tidak mengerti mengapa Raihan membawanya ke tempat ini, tempat yang selama ini sangat Gavin rindukan. Dan kehangatan di dalamnya, selalu mengusik pikiran Gavin selama hidup seorang diri di Jogjakarta.
Cowok dengan wajah sangar dan aksesoris anting di telinga kanannya itu menghembuskan napas panjang dari mulut, mengalihkan pandangannya pada Raihan. Meminta penjelasan kepada si cowok jangkung itu.
Melihat perubahan ekspresi Gavin, Raihan memejamkan matanya sesaat sebelum berjalan beberapa langkah mendekati Kakaknya.
Dia menepuk pundak Gavin dengan senyum tipis. "Gue mau urusan keluarga kita selesai, sebelum kita beresin urusan Tama dan Shila."
"Tapi gue──"
"Just talk, okay?" sahut Raihan sembari mengangguk mantap, membuat Gavin terdiam sesaat sebelum cowok itu menepuk pundak Raihan dan tersenyum simpul.
Lalu kedua Kakak Beradik yang tak pernah akur bak Tom and Jerry itu bersama-sama berjalan beriringan memasuki rumah bertingkat yang di dominasi berwarna biru laut dengan tekat yang sudah kuat. Agar semua masalah yang menimpa keluarga Raihan dan juga Gavin cepat terselesaikan.
Pintu kayu berwarna putih itu terbuka secara perlahan, setelah Raihan menekan bel rumah di sebelah kanan pintu. Memeperlihatkan seorang wanita paruh baya yang selama ini membantu Mama Raihan di rumah.
Bi Eci tersenyum lebar melihat kedatangan Raihan, namun senyuman itu perlahan memudar kala perempuan paruh baya itu menatap ke cowok yang berdiri di sebelah Raihan. Bagaimana pun juga, Eci sudah bekerja di sini selama sembilan belas tahun lamanya. Ia juga tahu masalah yang menimpa keluarga majikannya, termasuk kejadian yang berhubungan dengan Gavin.
"Masuk, Den." Eci mempersilahkan kedua cowok yang memiliki selisih umur dua tahun itu dengan senyuman canggung.
"Bunda dimana Bi?" Raihan menyapukan pandangannya ke sekeliling, tidak mendapati wanita yang selama ini merawatnya.
"Nyoya Alysa ada di kamarnya, den. Katanya mau ngebersihin isi lemari," jawab Eci, meskipun usianya lebih tua daripada Raihan. Perempuan itu berusaha menghormati anak majikannya sebaik mungkin.
"Oh." Raihan mengangguk, menatap Gavin dan Eci sekilas.
"Ya udah, saya mau ke dapur bentar. Nanti saya siapin makanan buat kalian." Raihan dan Gavin mengangguk secara serempak, menatap kepergian Eci yang tergopoh-gopoh menuju dapur rumah.
Gavin sedikit meringis, membayangkan akan bertatap muka dengan perempuan yang pernah menangis akibat ulah Gavin bukanlah satu hal yang baik. Cowok itu masih belum siap menatap Ibu kandungnya sendiri, pastilah sangat menyakitkan. Ia takut Alysa kembali bersedih hanya karena melihat kedatangannya yang seperti parasit di keluarga. Benar-benar tak menguntungkan.
"Rai, gue rasa ini bukan waktu yang tepat." Gavin menatap Raihan tak yakin.
Namun, melihat ekspresi Raihan yang benar-benar serius itu sukses membuat Gavin merasa sangat tak berguna lagi, apalagi di depan Adiknya sendiri.
"Kalau bukan sekarang, kapan? Kalau bukan gue siapa yang mau bawa lo kesini? Papa udah gak ada, jadi tolong lo ngertiin. Gue tau ada hal yang pengen lo ungkapin."
~•~
Reitama menghela napas lagi, teman-temannya memang kurang kerjaan keluar masuk ruangan ini seperti anak kecil. Padahal sebelumnya, Reitama sudah membentak bahkan mengusir mereka dengan suara lantang agar tidak ada seorang pun yang mengusiknya.
Namun lihat sekarang, Reitama menyibak selimut putih itu. Merasa geram, tak tahan untuk memarahi Austin atau pun Bara yang selalu saja mengganggunya.
"KAN UDAH GUE BILANG KELUAR!" bentak Reitama dengan suaranya yang sedikit serak, tetapi berhasil membuat orang yang baru saja masuk ke ruangan ini terlonjak kaget hingga mengelus dada nya sendiri.
"Astaga, Tam. Salah Papa apa sampe kamu ngebentak-bentak gitu?"
"Eh?" Reitama mengubah posisinya menjadi duduk tegak, langsung mendapati Arian yang tengah menatapnya lekat.
Ia kira orang yang masuk ke sini itu Austin dan Bara yang hendak menjahili Reitama lagi dengan terompet ataupun suara mangkuk bubur yang di ketuk dengan sendok. Tentu saja itu sangat berisik!
"Ngapain, Pa?" tanya Reitama mengerutkan keningnya, melihat pergerakan Arian yang menarik kursi dan meletakkannya di samping brankar Reitama untuk ia duduki.
"Papa baru denger kabar, kalau anak dari temen Papa baru aja meninggal dunia kemarin sore. Kamu udah tau?" setelah berbicara panjang dan penuh nada hati-hati, Arian menatap Reitama intens.
Jelas, cowok itu tahu. Reitama berdecak kecil. "Carla maksud Papa?"
Arian menghela napas. "Ya. Kasian Nigel, bahkan Papa belum sempet ke rumahnya buat ngelayat dan berbela sungkawa atas kematian anak Nigel satu-satunya. Denger-denger, ada orang asing masuk ke rumah trus dorong Carla dari atas tangga ya?"
"Gak tau lah, Pa," decak Reitama tampak enggan dengan topik pembicaraan ini.
"Kamu ini lagi sedih atau seneng sih karena gak jadi Papa jodohin?" Arian memicingkan matanya, membuat Reitama yang awalnya membuang muka jadi menoleh.
"I'm happy for that." Reitama berkata seadanya, namun cukup tegas untuk menyuarakan isi hatinya sendiri.
Dan di detik itu juga, kerlingan jahil terlintas di manik mata hitam legam milik Arian. Pria paruh baya itu menampilkan senyuman nakalnya kepada putra bungsunya.
"Jadi, pengennya di jodohin sama Lily nih?"
Mendengar beberapa kalimat itu, tubuh Reitama seketika menegang. Seperti ada arus listrik yang baru saja menyetrum hatinya.
* * *
Gue kena writer's block😷 Jadinya susah buat nulis/dapet ide, dan jadinya lagi update next chapter bakal lamaaaaa bgt. Intinya lama, pokoknya kalian tunggu aja ya updatenya klo gue udh dapet hidayah.
Abisnya ni otak udh mo meleduk karena teorema pythagoras :")
Tapi kalau kalian semangat minta 'next' ya, kayaknya gue bakal update dalam waktu yg lebih singkat.
Udh itu aja, curhat-curhatnya. Gak mau ngebacot di lapak sendiri, see u💜
Love y'all❤ from Mr. Oliver
KAMU SEDANG MEMBACA
Hide Feelings〔✔〕
Ficção Adolescente[ belum direvisi ] "Cowok adalah salah satu makhluk Tuhan yang gak bisa jujur sama perasaannya sendiri." * * * [ warning! gaya kepenulisan masih ugal-ugalan karena waktu itu saya cuma sekedar anak pi...