Setibanya Reitama di depan Cafe Corner, ia memarkirkan mobil terlebih dahulu sebelum benar-benar memasuki Cafe. Cafe ini sepi pengunjung, mungkin karena Cafe Corner termasuk ke dalam Cafe yang baru-baru ini buka.
Bunyi lonceng yang nyaring masuk ke pengaran saat Reitama membuka pintu kaca itu, aroma kopi dan lavender langsung menusuk indera penciumannya.
Reitama menyapukan pandangannya ke sekeliling sudut kafe, lalu tertuju pada seorang cowok berjaket abu yang tengah duduk di meja yang berhadapan dengan jendela sembari menyesap minumannya.
Entah kenapa, Reitama yakin bahwa orang itu lah yang menelponnya semalam. Jadi, tanpa pikir panjang lagi Reitama berjalan mendekati cowok itu.
"Sorry, lo yang nelpon gue semalem?" tanya Reitama sembari menepuk pundak cowok itu.
"Ah iya, gue orangnya." Orang itu membalas sembari menengokkan kepalanya.
Sukses membuat Reitama terkejut. "Kambing! Lo bukannya temennya si Jason sialan itu?! Sialan anj──"
Refleks, Darren pun berdiri seraya mengangkat tangannya menghentikan Reitama yang hendak mengumpat.
"Wo wo woo, santai. Gua gak bermaksud bikin lo marah, masih pagi." Darren berucap.
Membuat Reitama mendengus dan terpaksa menarik kursi di sebelah Darren lalu membanting bokongnya disana.
"Apa yang lo tau?" ketus Reitama.
Darren terkekeh, kembali duduk dengan tegak menghadap Reitama yang tak ada henti-hentinya menampilkan aura menjengkelkan.
"Apa yang gue tau?" Darren membeo. "Gue tau segalanya."
"Gue tau Shila, Asheela Olivia, siapa orang yang dia suka sampai sekarang Shila ada dimana juga gue tau." Darren menyesap minumannya sesekali melirik Reitama.
"Dimana dia?"
"Kasih tau gak yaaaa," celetuk Darren, sembari memicingkan matanya dengan ekspresi konyol.
"Gue gak kenal lo, jadi tolong. Jangan sampe lo bikin gue gampar orang yang sama sekali gak gue kenal." Reitama memutar bola matanya malas.
Melihat itu, Darren mengerucutkan bibirnya. "Galak amat sih, najis!"
"Gue denger," kata Reitama dengan malas.
"Eh, iya. Kemarin gue abis ke
supermarket ──""Apa hubungannya, curut!"
"Dengerin dulu makanya." Darren mulai tak sabaran.
"Kemaren gue abis ke supermarket, dan ngelewatin gudang tua di seberang jalan. Disana gue kayak ngedenger suara cewek ngejerit gitu, gue kan orangnya suka kepo gitu ya. Jadi gue datangin tu gudang, dari celah jendela kecil gue liat ada cewek sama empat orang cowok. Semua cowoknya itu tampang preman semua ──"
"Langsung ke intinya aja, gue gak punya banyak waktu." Reitama memotong cerita Darren, sesekali cowok itu melirik jam di pergelangan tangannya.
Alih-alih ucapannya di potong, Darren pun menggeram. "Intinya! Gue dapet lemparan batu yang isinya surat dari si ceweknya. Namanya Shila, dia minta bantuan supaya lo. Reitama Aridandra buat datang ke gudang itu nanti malam, dan jangan bawa siapa pun. Cuma lo sendiri,"
"Sinting lo ya!" ujar Reitama tidak terima dengan ucapan Darren yang tak masuk akal.
Terlihat Darren memutar bola matanya malas. "Yeee udah di kasih tau malah ngehujat, intinya itu aja! Lo harus dateng, kasian Shila kemaren disiksa."
"Lokasi nya ntar gu ──"
"WOI! REN!!!"
Darren menoleh, langsung mendapati Jason yang tadi memanggil namanya tengah berjalan mendekat. Seketika, aura Cafe menjadi panas.
Reitama yang menyadari kehadiran Jason langsung menatap cowok itu tidak suka, begitu pun dengan Jason yang tersenyum menyeringai. Membuat Darren yang menjadi penengah berpikir bahwa perang dunia ketiga sebentar lagi pasti akan terjadi.
"Gue cabut, kirimin alamatnya!" kata Reitama mendesis seraya beranjak dari kursi nya, tak berselera berada di dalam kafe ini lagi.
Namun, langkah kakinya seakan kaku ketika melihat seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari balik punggung kekar milik Jason dengan wajahnya yang sedikit takut serta mata bulatnya yang memancar menatap Reitama.
"Ngapain lo ada disini?" tanya Reitama begitu tajam. "Oh, kencan sama pacar lo ya?"
Lalu sedetik kemudian, Reitama tertawa. "Congrats ya, bilangnya suka sama gue padahal udah punya pacar. Cewek player!"
Liliana menahan napasnya, suara retakkan seakan bersumber dari hatinya. Matanya mulai memanas, sehingga Liliana jadi sulit untuk menelan salivanya.
Ingin membela namun mulut gadis itu seakan terkunci rapat dan malah membiarkan Reitama mengatakan hal yang tidak benar tentang dirinya.
"Gak setia jadi cewek! Udah punya pacar, tapi malah ngejar cowok lain. Tampang polos tapi hati busuk, heran gue." Reitama tersenyum hambar sembari menggelengkan kepala menatap Liliana yang hendak menangis.
"Atau jangan-jangan lo sengaja ya mainin hati dua orang cowok sekaligus, terus di campakkin gitu aja!"
Liliana menunduk. "Lily gak kayak gitu, lily gak bermak ──"
"Gak bermaksud gigi lo gendut!" potong Reitama berhasil menyentak Liliana hingga cewek itu tak bisa menahan air matanya yang mau tumpah.
Reitama berbicara lagi. "Dulu sih tingkahnya sok imut, tapi liat wajah asli lo ──"
"Lo udah ngomong terlalu banyak." Jason menatajamkan tatapannya pada Reitama. "Sekali lagi gue denger kata-kata lo keluar buat nyakitin Lily, gue gak tanggung jawab kalau besok lo gak bisa liat matahari lagi!"
"Pergi lo." Jason menggeram, melihat Reitama tak kalah sinis dengan cowok itu.
Reitama mendengus, mata elangnya lalu tertuju pada gadis yang berdiri di sebelah Jason.
"Asal lo tau, gue gak suka sama cewek yang tukang bohong."
Lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata sebagai kalimat perpisahan.
Reitama benar-benar di selimuti dengan balutan kelabu, hidupnya yang sudah hitam kembali di nodai dengan warna yang sama. Bahkan Reitama harus terima, jika suatu saat kehidupannya akan berubah menjadi sangat menyeramkan. Dengan kedatangan warna merah yang akan menodai hidupnya.
Seakan tenggelam, Reitama tidak tahu kemana hatinya harus meminta pertolongan. Kegelapan yang menyertai dirinya, rasa sakit kala di bohongi menghatam bagai ribuan godam. Shila, hanya itu tujuan hidup sekaligus motivasi Reitama.
Mencari keberadaan Shila adalah prioritas Reitama sekarang.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Hide Feelings〔✔〕
Ficção Adolescente[ belum direvisi ] "Cowok adalah salah satu makhluk Tuhan yang gak bisa jujur sama perasaannya sendiri." * * * [ warning! gaya kepenulisan masih ugal-ugalan karena waktu itu saya cuma sekedar anak pi...