So far, apa pendapat kalian tentang cerita ini?
Happy reading!✨
---
Untuk kesekian kalinya, usaha Zira untuk terlelap gagal. Ini semua karena ia yang terus saja memikirkan sikapnya dengan Alvaro. Rasa bersalah itu seakan terus menekannya, menghantuinya walau disisi lain egonya yang tidak ingin membuatnya terlihat lemah juga ikut menunjukkan dirinya.
Zira meraih ponselnya, berdecak kesal karena waktu baru menunjukkan pukul 04.00 pagi. Untung saja hari ini adalah hari minggu dan Zira bisa sepuasnya tidur hingga siang datang.
Di saat-saat seperti ini, yang Zira butuhkan hanyalah satu; pelukan hangat dari Ibunya yang telah tiada.
Zira sangat merindukan Ibunya. Dahulu, setiap kali Zira memiliki masalah, ibunya adalah orang pertama yang ia cari. Satu pelukan hangat dan penuh kasih disertai usapan lembut di rambutnya adalah hal terbaik yang pernah Zira rasakan.
Zira meremas bantalnya kuat-kuat. Untuk beberapa alasan, air mata tiba-tiba saja menggenang di pelupuk matanya. Salah satunya adalah ia tahu, keluarganya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi, seperti saat Ibunya masih ada.
Tidak akan ada lagi nasi goreng khas ibunya yang tersedia di meja makan setiap pagi sebagai sarapan. Tidak ada lagi yang memberikan kecupan hangat di pipinya dan Carel sebagai penyemangat tiap pagi.
Semua kenangan tentang Ibunya itu keluar begitu saja, membuat Zira tak mampu lagi menahan isaknya. Tangisannya pecah, begitu kontras dengan keheningan yang mengisi apartemennya.
Zira mengeluarkan seluruh bebannya selama ini. Mungkin karena masalah yang tengah membebaninya, pikiran Zira semakin kacau dan membuatnya hanya mampu menangis untuk melampiaskannya.
Zira menumpahkan segalanya, bahkan hingga bantalnya basah dengan air mata.
Perlahan lahan, tangis Zira mereda walau bahunya masih bergetar. Gadis itu memilih bangun, kemudian meraih jaket marunnya yang ia letakkan di kursi meja belajarnya untuk menutupi piyama yang ia kenakan. Ia beranjak keluar dari apartemen, berniat mencari udara segar atau apapun yang mungkin bisa membuatnya suasana hatinya membaik. Terus berada di dalam kamarnya hanya membuat Zira tak bisa henti-hentinya bertanya-tanya, mengapa semua ini terjadi padanya.
Lift masih dimatikan membuat Zira harus menggunakan untuk sampai ke lantai bawah. Gadis itu langsung merapatkan jaketnya saat ia mendorong pintu kaca gedung apartemen karena udara dingin yang begitu menusuk kulit. Langit masih sepenuhnya gelap, dan samar-samar, bau aroma tanah bercampur hujan masih memenuhi indera penciuman Zira, membuat gadis itu merasa lebih tenang.
Kakinya menuruni anak tangga yang membawanya ke halaman luas di depan gedung. Zira menyipitkan matanya saat cahaya lampu motor yang menyilaukan perlahan mendekat dan memasuki area gedung apartemen. Saat motor sudah semakin dekat, Zira baru mampu mengenali sang pengendara.
Itu Alvaro.
Entah kenapa, Zira justru terpaku bahkan saat motor itu berhenti tepat di hadapannya. Zira mampu menghidu aroma alkohol dengan sangat jelas dari tubuh cowok itu. Zira menunduk, menghindari tatap muka langsung dengan Alvaro.
"Lo ngapain jam segini di luar?" Untuk ukuran dua orang yang baru saja beradu mulut beberapa jam lalu, pertanyaan Alvaro terkesan terlalu santai bagi Zira. Atau mungkin, hanya Zira yang terlalu menganggap masalah ini serius.
"Hanya... Cari angin." Zira memutuskan untuk mengatakan jawaban sederhana itu, berharap Alvaro tidak bertanya lebih lanjut lagi dan cepat-cepat masuk ke dalam gedung apartemen meninggalkannya sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost [Completed]
Teen Fiction[BAHASA] unable to find one's way; not knowing one's whereabouts "Maybe, we can fix each other." *** Hidup Zira semula datar-datar saja. Kemudian suatu hari, kepala sekolah memintanya untuk mengajari Alvaro, murid paling badung yang nilainya menempa...