33 • Alvaro

2K 341 32
                                    

Halo🙆

Sebagai permintaan maaf untuk update yang lama, this is a super long chapter for u guys!

Happy reading!✨

---

"Udah ngerti, kan?"

Seperti rutinitas Alvaro dan Zira yang pernah terjadi sebelumnya, Zira kini sedang berada di apartemen Alvaro untuk mengajari cowok itu. Tadi, Alvaro bilang bahwa ini untuk persiapan ujian sekolah yang akan dilaksanakan dalam tiga hari lagi. Namun, seharusnya Zira sudah menduga bahwa cowok itu tidak benar-benar ingin melakukannya.

Buktinya, bukannya menjawab pertanyaan Zira, cowok itu hanya tersenyum. Seakan membuktikan pernyataan bahwa senyum itu menular, ada lengkungan yang terbentuk di bibir Zira saat melihat Alvaro tersenyum. "Nggak ada yang lucu," kata Zira, walau ada satu senyuman yang bermain di wajahnya.

"Ada," balas Alvaro, masih menyisakan jejak senyum di wajahnya. "It's funny, bagaimana dulunya lo adalah orang asing bagi gue yang gue tabrak di hari pertama kepindahan lo kesini, dan sekarang lo berubah menjadi salah satu orang paling penting di hidup gue, dan gue nggak akan pernah mampu membayangkan rasanya kehilangan lo."

Mendengarnya, ada rona merah yang menyebar di pipi Zira. "Nggak usah gombal. Gue tau lo hebat dalam ngerayu cewek."

"Itu bukan gombal, Cee," ucap Alvaro. "Lo merubah begitu banyak hal di dalam hidup gue. Dan karena lo, gue kehilangan seluruh alasan untuk nggak lagi memaknai hidup sebagai sesuatu yang berharga."

"Gue senang menjadi alasan lo kembali memaknai hidup," kata Zira. "Tapi gue ingin bukan menjadi alasan satu-satunya."

"Kenapa?"

"Karena nggak ada yang bisa menjanjikan kita berdua akan terus bersama, Alvaro," kata Zira, menatap dalam pada mata Alvaro. "Dan selain itu, lo masih punya orang lain. Ada Reno, ada keluarga lo."

Alvaro menghela nafas. Panjang.

"Bagaimana bisa keluarga gue menjadi alasan gue ingin menjalani hari-hari gue, disaat mereka sendiri yang menjadi alasan gue kehilangan seluruh alasan untuk menghargai hidup gue?" Tanya Alvaro. Sebuah pertanyaan yang terdengar retoris, dan Zira terdiam saat mendengarnya. Bukan hanya karena pertanyaannya, namun juga sebentuk luka yang sempat melintas di mata Alvaro, namun secepat luka itu muncul, secepat itu juga pergi, seakan Alvaro tidak ingin lama-lama menunjukkannya kepada Zira.

Tak ingin lama-lama membiarkan keheningan mengisi ruang diantara mereka, Zira kemudian mengalihkan topik. "Lo nggak perlu berpura-pura mau belajar hanya untuk menyuruh gue kesini," ucap Zira dengan satu senyum di wajahnya.

Salah satu sudut bibir Alvaro terangkat, menciptakan satu senyum yang terkesan jenaka. "Well, ucapan lo nggak sepenuhnya benar. Gue memang ingin melihat lo mengajari gue, walau alasannya memang bukan karena gue ingin belajar."

Zira mengernyit. "Terus, untuk apa?"

"Karena gue rindu melihat wajah serius lo saat sedang mengajari gue, saat sedang menerangkan gue, atau saat sedang menunduk untuk membaca buku," tutur Alvaro. "Gue melihat apa yang nggak bisa lo lihat. Lo nggak bisa melihat betapa cantiknya diri lo saat sedang mengajari dan menerangkan gue, atau saat lo sedang membaca buku."

Dan untuk kedua kalinya, rona merah berhasil menjajah pipi Zira. "Gue... Nggak secantik itu."

"Lo cantik," ucap Alvaro. "Everything about you is too good to be true."

Dan Alvaro benar-benar memaknai apa yang keluar dari mulutnya. Baginya, segala tentang Zira terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Zira tidak pernah menyadari bahwa Alvaro selalu memperhatikannya; bagaimana wajah seriusnya saat sedang membaca buku, atau senyum yang muncul di wajahnya saat melihat segelas moccacino latte yang ia pesan datang, rengutan yang menghiasi wajahnya saat melihat sesuatu yang tidak ia sukai, atau sekedar wajah tanpa emosi apapun ketika ia melamun.

Lost [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang