25 • Hembusan [2]

1.9K 344 23
                                    

Halo🙆

Happy reading!✨

---

Carel menghentikan mobilnya tepat di hadapan rumahnya. Ia melirik Zira yang menatap rumah berlantai dua yang didominasi warna putih itu tanpa berkedip sedikitpun.

Ada begitu banyak rasa yang bermain di dalam diri Zira, membuat dada gadis itu merasa sesak seketika. "Kak," Lirih Zira, menunjukkan keraguannya kepada Carel untuk menginjakkan kaki ke dalam rumah itu.

"Ini masih rumah lo," kata Carel, berharap kata-katanya mampu menghapuskan keraguan yang menyelimuti diri Zira. "Ayo masuk."

"Tapi gimana kalau Papa---"

"Ada gue. Apapun yang terjadi, gue ada sama lo," sela Carel, kemudian keluar dari mobil setelah menatap Zira cukup lama, berusaha meyakinkan adik perempuannya itu bahwa ia tidak perlu ragu untuk pulang.

Zira menarik satu nafas panjang, sebelum ia membuka pintu mobil dan keluar. Gadis itu berdiri di belakang Carel, mengekori kakaknya masuk ke dalam rumah.

Lengang. Tak ada suara sedikitpun di dalam rumah saat Carel dan Zira masuk. Zira mengedarkan pandangannya, merasakan dadanya yang memanas saat melihat foto keluarga yang berisi kedua orang tuanya bersama ia dan Carel waktu kecil sudah sirna, berganti dengan foto pernikahan Ayahnya dan Sandra yang dicetak dengan ukuran besar.

Semua jejak ibunya seakan benar-benar sudah hilang dari rumah, menimbulkan rasa sakit yang begitu terasa di hati Zira.

Bunyi knop pintu terdengar, membuat Zira dan Carel sama-sama menoleh menuju ke sumber suara, yang tak lain adalah kamar Bram, ayahnya. "Carel, kamu sudah---"

Bram tak melanjutkan ucapannya saat matanya menangkap sosok Zira yang berdiri di dekat Carel. Gadis itu langsung membuang muka saat Sandra ikut muncul dari balik punggung Bram.

"Zira," ucap Bram, mengambil langkah mendekati anak bungsunya itu, namun Zira segera mengambil langkah mundur untuk menjauhi ayahnya.

"Papa minta maaf," ucap Bram, namun Zira menggeleng. "Papa nggak perlu pura-pura merasa bersalah kayak gitu," tukas Zira dengan suara bergetar, menunjukkan emosi yang menumpuk di rongga dadanya.

"Papa benar-benar minta maaf, Zira."

Zira mengangkat wajahnya, ada senyum ketir yang menghiasi bibirnya. "Permintaan maaf Papa nggak akan merubah apapun."

Dua orang lain di ruangan ini, Sandra dan Carel, hanya mampu terdiam melihat apa yang terjadi di hadapan mereka.

Bram kembali mengambil langkah untuk mendekati anak perempuannya. "Papa minta maaf kalau selama ini Papa menyakiti kamu."

Zira mati-matian menahan emosi yang menggelegar di dalam dirinya. Apakah ayahnya tidak sadar, bahwa permintaan maaf itu lebih cocok ditujukan kepada Mamanya yang sudah tiada? "Zira mau Papa jujur sekarang," ucap Zira, mengabaikan semua permintaan maaf Bram barusan yang Zira yakini tak benar-benar berasal dari hati.

"Kamu mau Papa jujur tentang apa?"

Sebelum mengatakan apa yang ingin ia tanyakan, Zira menatap perempuan yang berdiri di sisi ruangan lain yang tak lain adalah Sandra, sebelum ia kemudian kembali menatap Ayahnya. "Papa udah berhubungan sama perempuan itu semenjak Mama masih hidup, kan?"

"Zira," Carel menyela dengan nada memperingati, tidak ingin adik perempuannya mengatakan sesuatu yang melewati batas. Namun laki-laki itu tidak mampu menyangkal rasa terkejutnya saat mendengar hal yang baru ia ketahui itu, walau belum bisa dipastikan kebenarannya.

Bram diam di hadapan kedua anaknya dan istri barunya, membuat Zira tersenyum miris. Dugaannya selama ini sudah dibenarkan oleh Bram secara tidak langsung. "Kenapa Papa nggak jawab?" Tanya Zira, walau ia tau dirinya tak lagi membutuhkan jawaban ayahnya.

Lost [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang