Sebulan telah berlalu selepas musibah yang menimpa Akbar dan Shazia. Walaupun empat minggu telah berlalu. Tapi, belum mampu mengembalikan keceriaan Shazia.
Seperti petang ini. Shazia tengah duduk balkon kamar. Matanya menatap kosong pada kolam renang. Raganya memang tidak menangis, tapi jauh dilubuk hatinya kini tengah meraung dan menjerit.
إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
"Sesungguhnya kita hanya milik Allah dan akan kembali pada-Nya"
Kalimat itulah yang sampai saat ini selalu Shazia tanamkan dalam dirinya. Kalimat yang membuat hatinya terselimuti ketenangan. Untuk semua yang kini menimpanya, Shazia tidak menyalahkan siapapun juga. Termasuk Akbar, suaminya. Kecelakaan itu tak hanya merenggut calon buah hatinya tapi juga merenggut salah satu kenikmatan yang hampir dua puluh lima tahun ini Allah titipkan padanya. Karena keadaan depan mobil yang rusak parah akibat menabrak sebuah pohon besar membuat kedua kaki Shazia lumpuh dan mungkin setelah ini Shazia akan menyatukan hidupnya dengan sebuah kursi roda. Sakit? Itu sudah pasti. Ketika salah satu bagian dari hidupmu hilang maka kesakitanlah yang akan hadir.
"Assalamu'alaikum, ya zaujati," bisik suara bass di samping telinga Shazia.
"Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Shazia. Tanpa menolehpun ia akan mengetahui siapakah pemilik suara indah itu.
Pria yang tak lain adalah Akbar itu merengkuh tubuh mungil istrinya dan mengecucup pipi tirusnya beberapa kali. Rasanya, semakin hari tubuh istrinya terasa semakin kurus. Hati Akbar bergetar saat melihat kini tubuh istrinya tengah berada di atas kursi roda. Memorinya kembali mengingat bahwa dialah penyebab dari kelumpuhan istrinya.
Akbar menghela nafas, kemudian kembali mencoba cara yang telah disusunnya untuk menghibur istrinya itu.
"Sayang, kamu sudah shalat ashar?" tanya Akbar sembari menggendong tubuh istrinya dan mendudukkan tubuh istrinya di atas ranjang mereka.
"Sudah, Mas," jawab Shazia seraya tersenyum kecil.
"Alhamdulillah," ucap Akbar seraya membuka khimar yang kini tengah dikenakan istrinya.
"Kamu semakin cantik." Puji Akbar lagi. Apa yang Akbar katakan bukanlah sebuah bualan tanpa makna, karena pada kenyataannya wajah bidadarinya itu terlihat bersinar-sinar dan semakin cantik.
Shazia hanya tersenyum dengan apa yang baru saja ditangkap telinganya. Bukan. Bukan karena Shazia tidak menghormati suaminya dengan tidak menatapnya kala mereka berbiacara, hanya saja, kini Shazia merasa tidak pantas bersanding dengan pria sebaik dan sehebat Akbar.
Akbar kini melangkahkan kakinya dan berjongkok di hadapan sang istri. Kemudian menggenggam kedua tangan Shazia dan mengecupnya.
"Aku mencintaimu," bisiknya.
"Aku juga mencintaimu, Mas," jelas Shazia.
"Mas, aku ingin bicara sesuatu padamu," ucap Shazia. Matanya menyiratkan sebuah keseriusan.
"Bicaralah, sayang," jawab Akbar dengan kedua tangan yang masih menggenggam erat tangan istrinya.
"Mas, kamu bisa melihat keadaanku sekarang bukan? Jika nanti rekan bisnis Mas mengajak bertemu, tidak usah ajak aku. Aku tidak mau Mas malu dengan membawa orang cacat seperti aku. Dan Mas juga boleh mengambil keputusan apapun setelah ini. Meskipun keputusanmu adalah mengakhiri hubungan pernikahan kita," Shazia mengatakan kalimat itu dengan menatap lekat mata suaminya.
"A... apa yang kau katakan, Shazia. Aku tidak akan pernah berpikir sampai kesana. Sungguh, aku tidak akan pernah malu mengakuimu sebagai istriku. Justru disini akulah yang salah. Aku yang menyebabkan kamu kehilangan fungsi kedua kakimu. Jika aku tidak mengajakmu ke villa mungkin saja sekarang kamu masih baik-baik saja,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...