Satu bulan berlalu sejak pernikahan kedua Akbar berlangsung. Sebenarnya, beberapa hari setelahnya, Akbar dan Fania terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan tempat Fania tinggal. Akbar menyarankan agar Fania tinggal di rumah yang berbeda dengan Shazia, tapi saran itu justru di tolak mentah-mentah oleh Fania. Sampai akhirnya, Akbar mengalah. Keduanya tinggal di bawah atap yang sama.
Akbar tak menyembunyikan apapun perihal pernikahan keduanya, bak kertas yang dilalap api, itulah peribahasa yang cocok kala kabar pernikahan keduanya tersebar. Beberapa orang begitu mudah menyimpulkan jika Akbar memutuskan untuk menikah lagi karena kekurangan yang kini di miliki Shazia.
Tapi sungguh, Akbar tak pernah sedikitpun berpikir hingga ke zona itu, hingga ia lebih memilih mendua hanya karena ketidaksempurnaan yang sebenarnya ia sendirilah penyebabnya.
Namun takdir tak dapat di tebak, meskipun tidak pernah ada rencana untuk melangkah ke zona itu, tapi akhirnya hal itu terjadi.
Kini, Akbar tengah menyantap sarapannya bersama kedua istrinya. Tapi yang pasti, masakan yang tengah mereka lahap kali ini adalah masakan buatan Shazia. Dengan alasan masih bekerja, Fania tidak memasak apapun satu bulan ini.
"Mas nanti pulang malam?" tanya Shazia.
"Sore, Sha," jawab Akbar sembari memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya.
Shazia hanya mengangguk. Memang, sejak pernikahan keduanya Akbar tak lagi memanggil Shazia dengan panggilan-panggilan indah seperti biasanya. Jika boleh jujur, itu menyakiti Shazia, tapi Shazia mencoba berpikir sepositif mungkin tentang alasann mengapa hilangnya panggilan itu.
Selepas sarapan pagi, Akbar dan Fania pergi ke tempat kerja mereka. Sedangkan seperti biasa, Shazia menunggu mereka di rumah. Selepas kepergian Akbar dan Fania, Shazia menjalankan kursi rodanya ke taman belakang. Taman yang dulu sengaja Akbar bangun untuk tempat mereka bersantai. Tapi sekarang, jangankan untuk bersantai di sini, bahkan datang kesini saja entah kapan terakhir kali Akbar lakukan. Tanpa Shazia sadari, air matanya menetes. Sesak itu kembali menghantam dadanya. Kala bayangan indah antara dirinya dan Akbar tengah bersama - sama, mereka selalu menanam tanaman bersama, memasak bersama, dan bahkan mereka akan berkejaran seperti anak kecil. Shazia akui, ia merindukan itu semua. Merindukan masa - masa dimana Akbar dan dirinya selalu bahagia sebelum semua ujian ini menyapa.
Bukan, bukan Shazia tidak bersyukur dengan apa yang menimpanya hari ini. Hanya saja, ia merasa terlalu lelah dengan apa yang terus datang tanpa berhenti. Semenjak hari itu, Akbar tak pernah lagi memperlakukannya semanis dulu. Tidak apa - apa jika tidak ada panggilan sayang. Tapi perhatiannya juga ikut hilang bersama hilangnya panggilan sayang itu.
Sedih memang, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Sekuat apapun ia menolak semua itu memang sudah terjadi.
Fania memang cantik. Gayanya juga terkesan modern dan anggun. Rambutnya yang hitam di cat dengan warna coklat sehingga terlihat berkilau dengan kulitnya yang putih bersih. Pantas saja jika Akbar lebih memilih Fania. Jelas - jelas Fania lebih cantik, lebih anggun, dan juga sempurna.
.
.
Akbar kini tengah berkutat dengan banyak pekerjaannya. Entah apa sebabnya, beberapa lestoran yang dimiliki Akbar pendapatannya menurun deastis. Beberapa pihak yang biasanya memilih jasa mereka, kini tiba - tiba memutuskan kerjasamanya sebelah pihak.Apa ini salah satu dari imbas karena pernikahannya?
Akbar menghembuskan nafas pelan. Semua hal yang terjadi ini membuat kepalanya bedenyut sakit.
Pendapatan yang menurun menjadi hal pokok yang mengganggu pikiran Akbar, bagaimana tidak? Dengan pendapatan yang menurun drastis itu membuat pembukaan beberapa cabang di daerah lain menjadi terhambat.
•
•
Keadaan rumah benar - benar sepi, walau banyak orang yang tinggal di dalamnya, tapi tetap saja tak ada kehangatan yang tercipta."Akbar, besok aku akan menghadiri beberapa acara meeting. Kamu bisa menemaniku?" tanya Akbar sembari bergelayut manja dilengan Akbar.
"Berapa lama?" tanya Akbar.
"Dua hari mungkin."
"Aku tidak tahu. Banyak hal yang harus aku benahi besok dan sepertinya beberapa hari ke depan," jawab Akbar yang tak sepenuhnya sekedar mencari alasan.
"Ayolah, Akbar. Aku juga ingin seperti rekan bisnisku yang lain, datang bersama suami atau istri mereka," ucapnya memohon.
"Aku tidak bisa, Fania. Aku sedang sibuk, dan seharusnya kamu sadar jika kamu yang membuatku sibuk," ucapnya dengan nada naik satu oktaf.
"Mengapa kamu jadi membentakku? Karena aku istri keduamu? Begitu? Apa seorang istri kedua tidak berhak mendapatkan perhatian dari suaminya?" Fania menembak Akbar dengan rentatan pertanyaan.
"Jangan kekanak-kanakan, Fania. Kau harusnya paham," ucap Akbar kemudian berlalu meninggalkan Fania.
Sementara di samping tembok, seorang wanita tengah terdiam dan mendengarkan apa yang tengah kedua pasangan itu percekcokan.
Kemudian perlahan ia melajukan kursi rodanya. Mendekati wanita yang notabenenya adalah istri muda suaminya.
"Fania," panggilnya pelan.
Fania menoleh. "Ada apa?" tanyanya to the point.
"Apa kamu benar-benar ingin Mas Akbar menemanimu?" tanya wanita itu ragu.
"Apa maksudmu?" Fania mulai tersinggung.
"Jika iya, aku akan berusaha membujuk Mas Akbar agar mau menemanimu," jawab Shazia sembari tersenyum.
"Oh aku mengerti. Jadi sedari tadi kau menguping pembicaraan kami? Dan setelah kau tahu jika Akbar tidak mau menemaniku maka kau mencoba untuk menunjukan budi baikmu padaku dengan menawarkan bantuan? Maaf nyonya Akbar Nazril Shidqi, aku bisa melakukan itu sendiri tanpa bantuan siapapun, termasuk kau. Dan satu hal lagi, aku bukanlah wanita yang suka dikasihani," ucapnya tanpa jeda.
"Aku hanya berniat membantumu," jawab wanita itu dengan nada bicara halus.
"Sekali lagi aku tekankan jika aku tidak butuh pertolonganmu," ucap Fania.
"Kau memang cantik Shazia, tapi ingatlah. Kau hanya seorang wanita cacat yang dikasihani suamimu. Kau tahu mengapa Akbar lebih memilih menikahi aku? Alasan utamanya bukanlah kejadian itu. Tapi, karena Akbar juga ingin wanita yang mendampinginya adalah wanita yang PANTAS. Seharusnya kau sadar, jika Akbar tak lagi mengasihanimu, dimana kau akan tinggal setelah Akbar menceraikanmu? Siapa yang akan menerima seorang janda cacat sepertimu? Sekali lagi jangan pernah mencoba mencari muka padaku. Dan ingat satu hal bahwa Akbar sudah tak lagi puas dengan apapun yang ada pada dirimu," ucapnya kemudian membanting sebuah majalah tepat di depan wajah wanita itu.
Wanita yang tak lain adalah Shazia hanya tertegun. Tanpa ia sadari, air matanya kembali menetes. Memang benar apa yang dikatakan madunya itu. Akbar sudah tak lagi puas dengan apapun yang ada pada dirinya. Jadi bukanlah sebuah kesalahan jika Akbar mencari penggantinya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...