Akbar menatap tajam atas apa yang baru saja dilihatnya. Walau sebatas memandang layar ponsel, namun itu tahu jika ini bukanlah sebuah lelucon.
Sejujurnya Akbar sedikit kecewa. Apakah Fania selalu seperti ini saat dirinya tak berada didekat wanita itu?
Padahal baru saja mereka hendak memulai. Tapi, semuanya seakan menjadi rumit selepas foto itu datang kepadanya.
Perasaan apakah ini? Apakah ini sebuah perasaan cinta? Seharusnya ia berbahagia jika ini adalah perasaan cinta. Itu artinya, ia bisa mencintai kedua istrinya dan berlaku adil pula terhadap keduanya.
"Aku percaya padamu. Dan aku berharap, kau juga bisa menjaga kepercayaanku," gumam Akbar sembari menatap wajah Fania di layar ponselnya.
Esok hari ia akan pulang. Dirinya sendiri yang akan membicarakan semua ini langsung pada Fania. Ia ingin tahu apakah istrinya akan mengiyakan ataukah tidak. Untuk sekarang, ia hanya bisa husnudzon, berharap banyak jika harapannya tak hanya akan menjadi sekedar harapan.
***
Fania menatap Akbar sembari tersenyum manis. Akhirnya ia bisa menjemput Akbar setelah beberapa hari tak bertatap muka dengan pria itu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ujar Akbar sembari memberikan punggung tangannya pada Fania.
"Wa'alaikumussalam, Akbar. Selamat datang kembali." Fania menjawab dengan antusias. Ia terlihat begitu merindukan Akbar.
Akbar hanya tersenyum masam. Sebuah sambutan yang begitu indah. Namun sayangnya, sambutan itu tidak sampai pada hatinya. Rasanya seakan hambar.
"Ayo kita pulang," ucap Fania sembari menggandeng tangan Akbar.
Akbar hanya menurut. Mungkin saat ini bukanlah masa yang tepat untuk membahas tentang kecurigaan Akbar.
"Shazia mana?" gumam Akbar. Memang sebuha gumaman. Tapi telinga Fania dengan aktif mendengarnya.
Tiba-tiba saja, genggaman tangannya terlepas. Rasanya bagai ditikam pisau tajam. Ia sudah menunggu sejak lama, berharap Akbar akan datang dengan senyuman bahagia kala ia menyambutnya. Namun, pengorbanannya seakan sirna karena nama wanita lain yang justru suaminya cari.
Sesakit inikah rasanya diduakan?
Fania tak mampu lagi berkata-kata. Dibibirnya bagaikan ada sebuah perekat yang begitu kuat hingga ia tak bisa membuka mulutnya sendiri.
"Kau kenapa?" tanya Akbar saat menyadaru Fania tak lagi menggandeng tangannya. "Jika ada sesuatu, kita bicarakan di rumah." Akbar menarik tangan Fania hingga keduanya memasuki mobil.
Dalam mobil pun tidak ada percakapan. Akbar sedang kebingungan mencari waktu yang pas untuk bertanya pada Fania. Sementara Fania tengah terdiam sembari mendinginkan hati dan pikirannya.
Akbar menarik napas pelan. Ia akan bertanya sekarang.
"Fania?" panggil Akbar.
Fania menoleh, keduanya saling memandang. "Apa?"
Akbar menelan ludahnya. Semoga pertanyaannya tidak akan menyinggung Fania.
"Ke mana saja kau selama aku pergi?" tanya Akbar.
"Ke mana apanya?" tanya Fania bingung. Pertanyaan Akbar terdengar ambigu di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...