Gelapnya malam semakin mencekam. Semilir angin menggoyangkan beberapa daun dan bergesekan dengan ranting. Sudah tengah malam, tapi kantuk itu hilang entah kemana.
"Aku akan mengambilnya kembali. Bagaimanapun caranya."
Teriakan itu masih terngiang di kepalanya. Semua benteng yang telah diciptakan olehnya hilang begitu saja.
"Kenapa belum tidur?" Suara bariton yang baru saja terdengar mengagetkannya.
"Aku belum mengantuk."
Pria itu berjalan menghampirinya.
"Tidur terlalu malam tidak baik untuk bayi kita, Fania," ucapnya. Iya, pria itu adalah Akbar.
"Aku tidak bisa tidur, Akbar. Aku sudah mencoba tidur tapi, bukannya mengantuk aku justru lapar," jawab Fania.
Akbar mengulum senyuman, kemudian menggandeng Fania keluar kamar.
"Aku sudah memasak. Berhubung kalian berdua tidak bisa tidur lebih baik kita makan saja. Mungkin ini disebabkan kita tidak makan malam hari ini," ucap Akbar kemudian menyajikan makanan di piring kedua istrinya.
الَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya :
"Ya Allah, berkatilah rezeki yang engkau berikan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa api neraka."Selepas doa itu terucap. Ketiga orang di sana segera menyantap makanan mereka. Suasana ruang makan tiba-tiba hening saat mereka telah dihadapkan dengan makanan.
Pikiran Shazia tengah dirundung pilu. Dugaannya tak salah lagi. Sikap Akbar kembali sama seperti sebelumnya. Sikap Akbar begitu tak ia harapkan.
Sementara Fania, wanita itu sibuk memikirkan bagaimana kehidupannya selepas ini. Jujur saja, seseorang itu begitu memecah ketenangannya. Ia seakan tengah hidup dalam ketakutan sekarang.
Flashback on!
"Katakan di mana anakku?" teriaknya.
Fania membisu. Keterkejutan masih terpatri jelas di wajah cantiknya.
"Jangan bodoh, sayangku. Cepat katakan dimana anakku?"
Fania bergeming. Entah jawaban apa yang harus ia berikan jika dalam situasi semacam ini.
"Dia sudah lenyap," bisik Fania.
Kedua mata pria itu membulat, tangannya mengenal kuat.
"Jangan bercanda, Fania. Jika kau tidak menginginkannya maka biarkan aku yang merawatnya. Aku menyayanginya, Fania. Sungguh," ucapnya dengan suara memelan.
Fania tersenyum garing. Memang pada kenyataannya, anak itu sudah lenyap bahkan tanpa ada yang melenyapkannya.
"Jawab aku Fania." Tegas pria itu lagi.
"Aku sudah menjawabnya."
"Fania, aku serius. Kau tak pernah tahu bagaimana aku. Menjadi sosok orangtua yang begitu mendambakan keturunan. Dan dengan mudahnya kau melenyapkannya?" Nada bicara yang awalnya terdengar lembut kini kembali naik satu oktaf.
"Dan kaupun tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Disaat aku harus menanggung malu sendirian. Di mana kau saat itu? Sebatas menjadi seorang sutradara yang tak pernah ingin terjun dalam pergulatan yang sebenarnya, cih."
Mata pria itu memerah. Berhasil meneteskan air mata kegagalannya. Seburuk inikah nasibnya?
"Coba kau bayangkan bagaimana keadaanku saat itu. Kau pergi hanya dengan meninggalkan cek itu? Kau pikir aku apan, hah? Aku berpikir jika cinta yang sering kau katakan itu memang benar adanya. Tapi, aku tak menemukan itu semua. Yang aku temukan hanya sebuah omong kosong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...