Suara petir saling menyambar, hujan turun dengan geras mengguyur kota. Suasana malam semakin mencekam kala angin juga ikut berhembus kencang.
"Aku menyesal telah mengalah. Andai saja aku tetap berjuang. Mungkin sekarang orang yang aku cinta tak akan terluka sedalam itu," ucap seorang pria yang tengah memandang rintikan hujan.
"Semuanya sudah terjadi, kak. Dia sudah menjadi milik orang lain," jelas seseorang tepat di belakangnya.
"Sejak kapan kau di sana?"
"Sejak kakak mulai menatap rintikan hujan itu dan kemudian bergumam sendirian." Keduanya saling memandang.
"Tidak baik menguping pembicaraan orang lain," ujarnya kemudian meninggalkan wanita yang tak lain adalah istrinya.
"Kita sama - sama ada dalam posisi yang sama, kak. Aku mencintaimu tapi kamu mencintai dia. Dan dia yang kamu cintai juga mencintai orang lain. Cinta yang kita punya sama - sama tak terbalaskan," ucapnya sembari tersenyum getir.
Satu tahun telah berlalu. Semua duka itu juga harusnya telah berlalu. Tapi tidak untuk pria bertubuh jangkung dengan wajah khas orang Timur Tengah itu.
Ahmad Muzzaki Firdaus, itulah nama yang orangtuanya berikan untuknya.
Zaki, itulah panggilan yang disematkan beberapa orang untuknya. Seorang pria dengan usia yang telah melewati kepala tiga tapi masih belum juga memantapkan dirinya untuk mencari kembali patahan tulang rusuknya setelah khitbahnya di tolak seorang wanita pujaannya dulu. Shazia.
Memang saat pertama kali bertatap muka dengannya. Kala itu mereka sama - sama menghadiri sebuah acara tabligh Akbar di salah satu mesjid pusat di kota itu. Entah apa dan siapa yang memulainya, mereka berdua saling bertemu di parkiran karena sedikit ada kesalahpahaman.
Entah sebab apa juga, setelah pertemuan pertama mereka detak jantung Zaki selalu berubah cepat kala mengingat momen singkat mereka. Senyum simpulnya yang begitu manis, gaya busana yang menunjukan seorang muslimah yang menjaga izzah dan juga iffahnya, dan bahkan suaranya yang begitu terdengar merdu di telinga Zaki. Astaghfirullah, entah ini adalah kali keberapa Zaki masih saja memikirkan wanita yang bahkan kini telah di ikat oleh pria lain.
Dulu ia adalah orang pertama yang datang ke rumah Shazia dan berkata dengan keberanian jika ia ingin mengkhitbah Shazia. Namun rencana tak seindah kenyataan.
Lamarannya justru kalah telak oleh seorang pria yang menjadi kekasih hati cintanya itu. Kala itu ingin rasanya ia menolak takdir. Ingin berteriak marah pada nasibnya yang teramat sangat malang.
Tapi kala itu ia sadar. Menahan sesuatu yang tetap berusaha pergi bukanlah sebuah hal yang baik, bukan?
Kala dirinya telah sedikit ikhlas atas apa yang terjadi antara dirinya dan Shazia. Sebuah kabar buruk yang membakar amarahnya datang.
Suami dari wanita yang begitu dicintainya menduakan wanita itu. Mendengar kabarnya saat mampu membuat amarahnya memuncak. Apalagi kala menyaksikannya lansung.
Dia menyesal, sungguh menyesal. Bagaimana bisa keikhlasannya dimaafkaatkan? Sesempurna apa wanita yang membuat pria itu berpaling? Apakah sangat cantik? Berpenghasilan tinggi?
Ataukah begitu terlihat sempurna hingga mengalahkan semua kesempurnaan yang telah wanitanya berikan?
Tapi sudahlah, itu adalah urusan mereka. Hanya saja, jika sekali lagi Akbar menyakiti Shazia maka ia sendiri yang akan turun tangan. Memang, tak ada hak apapun baginya untuk berbuat demikian.
Tapi, masih Zaki akui jika rasa iktu masih ada. Dan entah kapan akan meninggalkan hatinya.
.
.
.
Di tengah meriahnya pesta, seorang wanita tengah duduk diantara para tamu undangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...