30.) Tanpa Kata

6.7K 438 39
                                    

Raut muram terlihat jelas kala pintu masuk terbuka. Kabar buruk memang baru saja menghampiri, menghujam begitu dalam. Sehingga si penderita bingung sendiri untuk memulai kembali.

"Keadaan Ummi memburuk. Datanglah ke Rumah Sakit. Maaf Mas tidak bisa menjemputmu."

Tubuh Shazia memang membeku selepas mendengar itu, kabar bahagia yang hendak ia sampaikan hanya tertahan di tenggorokannya saja. Sama sekali tak mampu ia ucapkan.

Dengan perasaan tak menentu, Shazia membayar taksi yang ditumpanginya. Khimar serta cadarnya terbawa angin yang rasanya begitu sejuk, namun tak mampu mendinginkan hati Shazia yang tengah dilanda kecemasan.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ujar Shazia sembari membuka pintu rawat inap ibu mertuanya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab ketiga orang di dalam sana.

"Bagaimana keadaan Ummi?" tanya Shazia dengan segera.

"Tenanglah, Sha. Keadaan Ummi sudah kembali stabil. Memang beberapa waktu lalu keadaan Ummi sempat memburuk," jelas ayah mertuanya.

"Alhamdulillahirabbil'alamin." Shazia bernapas lega.

Untung saja kamar yang ditempat ibu mertuanya terhitung kamar berkelas, sehingga bebas siapa saja yang bisa masuk.

Shazia menatap suaminya sesaat, dilihatnya Akbar tengah menggenggam tangan ibunya. Matanya memerah tanda baru saja ada air mata yang turun. Tanpa bercerita sekalipun, semua orang tahu. Akbar begitu mencintai ibunya.

Akhirnya dengan terpaksa. Shazia menunda kabar bahagia yang hendak ia sampaikan. Rasanya ia tak tega kala melihat wajah tampan suaminya yang tengah terlihat sendu.

Dan Fania, wanita itu duduk di sofa yang telah disediakan. Wajah cantiknya juga terlihat sendu. Apa hanya Shazia yang bahagia di sini?

***

"Tapi, kenapa mendadak sekali, Mas? Bukankah semalam belum terjadi apapun?" ujar Shazia.

"Aku juga tidak tahu. Semalam ayah Fania pingsan. Dan dokter mengatakan bahwa ia harus dirawat."

Sebenarnya apa yang terjadi dengan ayah dari madunya itu?

"Maafkan aku, Sha. Aku harus terbang ke Indonesia saat ini juga," ucap Akbar.

"Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Shazia pelan.

Akbar menghela napas, "sebaiknya kau di sini saja. Akan sangat kerepotan jika aku membawa pulang kalian berdua."

Deg.

Bibir Shazia terkatup seketika. Apa katanya? Akan sangat kerepotan?

"Aku pergi. Assalamu'alaikum."

Shazia hanya bisa menjawab salam suaminya selepas tubuh suaminya hilang ditelan jarak.

Air matanya luruh seketika. Entah apa maksud Akbar mengatakan itu semua. Hanya saja, perkataan suaminya itu berhasil menikam hatinya.

"Allahu Akbar, tabahkanlah hatiku," lirih Shazia.

Dan iya, kabar yang telah Shazia siapkan akhirnya kembali tak terucap. Mengapa seperti ini lagi? Entah semalam atau hari ini, seakan selalu ada yang menahannya untuk mengatakan kabar kehamilan itu pada suaminya. Ada apakah ini?
.
.
"Abati."

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang