Akbar pov
"Aku tidak pernah ingin jadi yang pertama. Karena yang aku ingin cukup menjadi satu-satunya. Saat setelah aku tidak ada lagi dia ataupun mereka."
Itulah kalimat yang keluar dari mulut wanita cantikku kala ia tahu apa yang selama ini telah aku sembunyikan.
Bukan. Bukan aku tak ingin memberitahukannya perihal masalah yang beberapa hari ini menjadi beban yang amat sangat berat untukku. Tapi, keadaan seakan mencegahku untuk mengatakan itu semua.
Untuk pertama kalinya. Setelah lima tahun mengenalnya aku melihat dia menatapku dengan tatapan mata tajam. Jujur, kala itu hatiku bergetar. Entah mengapa, aku takut kehilangannya. Takut kehilangan sosok wanita yang selama ini selalu menjadi alasan senyumku.
"Sayang, aku minta maaf. Aku juga tidak tahu jika semua ini akan terjadi. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus bertanggung jawab atas apa yang menimpa wanita itu." Penjelasanku seakan tak ada artinya. Bahkan sampai saat ini, ia masih menangis dalam dekapan Ibuku. Suasana tiba-tiba menjadi haru.
Flashback on!
Setelah Shazia terbangun dari tidurnya dalam keadaan ketakutan kemudian tak sadarkan diri. Aku hendak membawanya ke Rumah Sakit. Tapi, baru saja aku hendak berangkat, Abi kembali datang ke rumahku dan mengatakan bahwa sahabat kecilku kembali melakukan percobaan bunuh diri untuk kedua kalinya. Sontak aku kaget, dalam kondisi gelap. Aku tidak mungkin meninggalkan Shazia tapi aku juga tidak mungkin terus berdiri di sini. Hingga akhirnya, dengan perasaan marah Abi memintaku untuk menikahi sahabat kecilku saat itu juga.
Antara marah, kecewa, terkejut, dan bahkan malu bercampur menjadi satu. Dengan keadaan gemetar, untuk kedua kalinya aku mengucap ijab kobul. Ijab kobul yang aku iringi dengan air mata.
"Saya terima nikah dan kawinnya Fania Ashalina Atmaja binti Husein Atmaja dengan Maskawin tersebut di bayar tunai."
Tentu saja aku mengucapkan kata itu sengan seizinnya. Tanpa seizinnya aku tak akan berani mengucapkan kalimat sakral yang seharusnya hanya satu kali aku ucapkan. Tapi kali ini, kalimat itu kembali terucap untuk yang kedua kalinya setelah tujuh bulan yang lalu.
Aku kira, saat kalimat itu aku ucapkan Shazia masih tak sadarkan diri. Tapi dugaanku salah, Shazia menatapku dengan uraian air mata. Saat itulah hatiku rasanya mati. Mati saat menyaksikan jika orang yang aku cintai menangis karena ulahku sendiri.
Saat itu aku ingin berlari mengejarnya. Tapi aku teringat, jika di sampingku juga ada wanita yant kini berstatus istriku. Aku tak mungkin meninggalkannya bukan?
Flashback off!
Dan kini rasanya aku menyesal. Menyesal karena telah menyembunyikan masalahku darinya. Terlalu banyak kata andai yang ingin aku langitkan, tapi hanya sebatas kata andai yang tak akan bisa jadi kenyataan. Semuanya sudah terlambat.
"Shazia," gumamku pelan.
Di sana aku melihat istri keduaku masuk. Aku lupa, lupa jika sekarang istriku tak hanya Shazia. Tapi juga sahabat kecilku itu.
"Akbar," ucapnya.
Aku hanya menoleh. Aku melihat sebuah senyum indah terpatri di wajah cantiknya. Jujur, aku pun ingin membalas senyumannya. Tapi mengapa rasanya tidak bisa?
"Terimakasih."
Detik berikutnya aku tersadar. Bahwa sekarang tak hanya Shazia yang bersamaku tapi ada seseorang yang lain juga yang kini tengah bersamaku.
Jujur saja, sedikitpun aku tak pernah membayangkan jika hari ini aku akan kembali menikah. Di tengah malam. Tanpa ada susunan acara seperti saat aku dan Shazia menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...