10.) Lembaran Hitam (2)

7K 502 34
                                    

Fania tengah menikmati dinginnya udara pagi di balkon kamarnya. Ia baru saja menyelesaikan ritual mandi pagi. Beberapa saat yang lalu juga Akbar sudah pamit untuk membenahi masalah pekerjaannya.

Fania tahu, siapakah gerangan rekan bisnis Akbar saat ini. Sejujurnya ia tengah dirundung rasa ketakukan. Takut jika rekan bisnis Akbar itu menceritakan semuanya. Maka matilah dia.

"Tapi tidak, pria itu mencintai Shazia. Jika dia mengatakan semuanya, maka hilanglah kesempatannya untuk bersama Shazia."  Fania bermonolog. Hati dan logikanya berperang.

Hatinya menyuruhnya berhenti untuk menipu seseorang, sementara logikanya menyuruhnya melanjutkan ini semua. Toh semuanya halal dalam perang dan cinta. Itulah yang logikanya katakan.

Bukanlah tidak salah jika Fania kembali? Ia juga adalah korban di sini. Ia sudah menunggu ribuan hari hanya untuk hari ini, lalu apa sekarang ia harus melepaskan semuanya?

Peduli apa ia pada perasaan madunya itu. Ia juga butuh kebahagiaan dengan cara apapun juga.

No name
'Aku sarankan, berhenti sekarang juga
tidak baik merebut sesuatu yang notabenenya sudah menjadi milik orang lain.

Fania tersenyum masam. Ia tahu siapakah yang mengirimkan pesan itu. Pasti pria itu.

Fania
'Siapa yang merebut kebahagiaan? Aku ataukah kau? Siapa yang tetap bersikukuh menginginkan istri orang lain? Apa bedanya denganku yang menginginkan suami orang lain?

Skak. Si pengirim pesan itu kalah telak. Fania tak ingin di salahkan. Baginya ia benar. Selebihnya terserah manusia akan menilainya dari segi apa. Egois memang. Tapi, itulah manusia.

Katakan saja ia jahat. Toh memang begitu adanya.
.
.
Shazia termenung di kamar. Semalam, tepat saat Akbar baru pulang selepas menyelesaikan banyak urusannya. Setelah sekian lama ia kembali mendapatkan dekapan hangan Akbar.

"Aku mencintaimu. Kau harus percaya itu," bisiknya saat tengah mendekap tubuh Shazia.

Kata cinta itu ada. Bahkan masih terucap. Seharusnya Shazia bahagia bukan? Ia tak kehilangan Akbar. Tapi hatinya berkata lain, rasanya ungkapan kata cinta dari Akbar terdengar lain. Entah, terdengar seperti, hambar?

Astaghfirullah. Shazia beristighfar, bagaimana ia bersuudzan pada suaminya sendiri. Bahkan beberapa saat lalu, Akbar kembali menemuinya dan berpamitan untuk mengecek salah satu cabangnya di sini. Akbar mengecup keningnya. Memberikan kecupan yang telah lama hilang.

"Tunggu aku, Zaujaty. Aku tidak akan lama."

Shazia bingung sendiri. Sikap Akbar berubah sekejap mata. Kemarin, sikap Akbar masih seperti biasanya. Tapi sekarang, Akbar menjadi sangat manis. Bahkan begitu manis.
***

"Aku menyerahkan pilihannya padamu. Aku hanya menawarkan dan tidak akan memaksa. Toh, kalaupun aku tidak bekerja sama denganmu, perusahaanku tidak akan bangkrut," jawab seorang pria dengan santai.

Dalam hati Akbar mengumpat. Sungguh memancing emosinya.

"Terserah, tuan. Apapun itu, aku tidak mau membangun restoran di sini." Putus Akbar.

Pria itu hanya mengangguk. Kemudian beranjak. "Dari dulu kau memang sama. Serakah. Di sana ada tempat usaha saudaramu. Setidaknya biarkan usahanya maju. Toh berkurang satu miliyar tidak akan membuatmu bangkrut."

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang