9.) Lembaran Hitam

7.1K 478 48
                                    

"Kenapa kau tidak mengatakan jika kau ingin makan?" tanya Akbar dengan suara meninggi, "jika begini orang pasti akan mengira jika aku sedang menyiksamu dengan memberimu makanan bekas," lanjutnya.

Shazia menunduk. Maksudnya bukan itu. Tadi dia hanya tidak ingin mengganggu kebersamaan mereka.

"A ... a ... aku," Shazia tak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Dokter akan datang sebentar lagi, kau harus menunggunya," ucap Akbar kemudian berlalu meninggalkan Shazia.

Di luar kamar, Akbar mengusap wajahnya kasar. Ia tak menyangka jika semua ini akan terjadi pada Shazia. Dua jam selepas memakan makanan itu, Shazia muntah-muntah dan membuat Akbar khawatir.

"Dia tidak apa-apa. Sepertinya penyakit Maag yang di milikinya kambuh. Tapi tidak apa-apa, keadaannya akan segera membaik setelah di beri obat."

"Aku takut dia punya penyakit lain, Andrian," sahut Akbar tiba-tiba.

"Sepertinya kau sangat mencintai, istrimu. Menurut pemeriksaanku dia tidak mengidap penyakit apapun selain maag. Mungkin karena pikirannya sedang kacau dan juga porsi makan yang tidak layak membuat dia jadi seperti ini," jawab sang Dokter yang bernama Andrian.

Akbar menghela nafas lega. Untunglah tidak terjadi apa-apa pada Shazia. "Sudah aku katakan, Akbar. Tidak akan terjadi apapun pada Shazia. Tapi kau justru tidak percaya padaku," timpal Fania setelah melihat Dokter itu pergi.

"Aku hanya takut terjadi apa-apa padanya, Fan. Dia adalah tanggung jawabku. Jika terjadi apa-apa padanya pasti aku yang akan di salahkan," ucap Akbar.

Tanpa mereka tahu, Shazia mendengar semuanya. Kepalanya memang sedikit pening. Rasa mual jug masih mendominasi. Tapi sungguh perkataan Akbar beberapa saat lalu membuat dia semakin mual.

Rasa tanggung jawab. Itulah alasan mengapa Akbar melakukan semua ini padanya. Kemanakah Akbarnya yang dulu? Dimanakah semua kesungguhannya kala dia masih memiliki satu istri? Apakah nama Shazia tak lagi seberharga ketika ia masih sempurna? Cukuplah Akbar yang mengetahuinya.
.
.
Jam bersatu menjadi hari dan hari bersatu menjadi minggu. Sudah dua minggu Akbar beserta keluarganya di Singapura. Keadaan Fania yang kadang tidak stabil membuat Akbar mengundur jadwa kepulangan mereka. Mungkin sampai kandungan Fania cukup kuat untuk melakukan perjalanan udara.

"Kamu sudah memasak?" tanya Akbar pada Shazia yang tengah mengepel laintai.

Shazia tersenyum. "Sudah, Mas," ucapnya kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.

Ada sebuah kabar baik, kaki Shazia kembali bisa di gerakan setelah sakit yang menimpanya beberapa minggu lalu. Memang jika untuk berjalan jauh masih saja belum bisa di gunakan. Tapi setidaknya, untuk melakukan sedikit aktivitas di rumah, Shazia sudah tidak membutuhkan bantuan lagi.

"Fania tiba-tiba ingin memakan ice cream matcha dan juga pizza, apa kamu ingin juga?" tanya Akbar sembari memakai jaketnya.

Shazia hanya tersenyum dan menggeleng. Memang benar adanya bahwa Shazia tidak menginginkannya. Shazia bukanlah tipe wanita masa kini yang sangat menyukai makanan modern. Di samping tidak terlalu baik untuk kesehatan, Shazia juga tidak sedang menginginkannya.

"Aku akan pergi. Mungkin tidak akan terlalu lama. Jika Fania bertanya aku kemana, katakan saja aku sedang mencari apa yang dia inginkan." Meski kecewa, Shazia tetap mengangguk.

Ia cukup sadar diri. Ia tak lagi bisa memberikan apa yang selama ini Akbar ingkinkan. Dan kali ini, Allah kembali berbaik hati padanya.

Allah mengirimkan malaikat kecil di antara mereka walaupun tidak berasal dari rahimnya. Tidak apa-apa, toh ia akan menjadi Ibunya juga.

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang