***
"Fania Ashalina Atjama, dengan ini aku Akbar Nazril Shidqi memberimu talak. Mulai sekarang kau bukan lagi istri dan tanggung jawabku."
Kalimat itu masih terdengar menggelegar. Padahal sudah dua hari, sejak kalimat itu terucap dari bibirnya.
Iya, Akbar memang telah melakukan itu.
Amarahnya sudah tak mampu lagi ia tahan, sehingga hanya kalimat itulah yang mampu terucap.
Semuanya telah terbongkar. Segala kebohongan dan juga sandiwara Fania telah berputar bak film dalam sebuah kaset kusut.
Antara marah, kecewa, dan malu. Dirinya merasa telah gagal dalam memutuskan. Fania, sahabat kecilnya sendiri telah menipunya hanya karena sekedar obsesi semata.
Flashback on.
"Aku melakukan ini karenamu, Akbar. Aku pikir kau mau menunggu. Nyatanya kepulanganku kau sambut dengan sebuah undangan pernikahan," jelas Fania dengan uraian air mata.
Mengapa Akbar menjadi pihak yang salah di sini?
"kau egois, Akbar. Kau mengatakan mencintaiku dan akan menungguku. Tetapi nyatanya, kau justru memilih untuk mempersunting wanita lain," lanjutnya.
Akbar bungkam. Jadi, selama ini apa yang dilakukan Fania adalah karena kesalahannya? Begitu?
"Kau serakah, Fania," timpal Akbar.
Fania tertawa sumbang, "kau mengatai aku serakah. Padahal dalam kenyataannya kau pun tak lebih baik dariku."
Kedua mata Akbar membola. Mengapa dirinya semakin disalahkan?
Flashback off.
Sejak saat itu, Akbar tak pernah lagi melihat wajah Fania, mantan istrinya.
Dan Akbar pun tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada wanita itu setelah ini.
Anggap saja dirinya kejam. Namun, apa yang telah Fania lakukan pada keluarga kecilnya ternilai lebih kejam.
Tiba-tiba, tangisan nyaring dari seorang bayi terdengar dengan begitu keras. Di sana, tepat di baby box berwarna putih tulang, seorang bayi perempuan menangis karena tidurnya terganggu akibat kehauasan.
Akbar menghampiri baby box itu dengan langkah lebar. Ditimangnya bayi mungil itu, iya tubuhnya memang mungil. Maklumi saja, ia terlahir satu bulan sebelum perkiraan dokter.
Iya, kedua bayi Akbar dan Shazia terlahir prematur.
"Ada apa, Nak? Kamu haus ya?" Akbar terus menggumamkan kalimat yang sama sampai ia menyelesaikan proses dalam membuat susu untuk anak perempuannya.
"Putri Abati harus minum sampai kenyang, ya. Nanti tidur lagi," ujar Akbar sembari menghapus peluh yang sedikit mengganggu pandangannya.
Akbar tersenyum simpul. Ini memang sudah menjadi rutinitasnya. Untuk saat ini dan selanjutnya.
Mungkin dirinya sudah terlihat seperti manusia dengan keperibadian ganda. Terkadang dirinya diselimuti kemarahan, namun dalam sekejap kemarahan itu lenyap tergantikan oleh sosok yang begitu lembut dan penyayang.
Sesungguhnya itu tidaklah sepenuhnya benar dan keliru. ia memang belum bisa mengontrol emosi dalam dirinya sendiri. Rasa marah yang berlebihan itu membuatnya mudah tersinggung dan juga marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...