31.) Tanpa Kasih

6.9K 512 37
                                    

Cukup bahagiakan aku dengan menekan bintang di pojok kiri bagian bawah. Karena itu adalah sebuah penghargaan untukku.

***

Sebulan berlalu tanpa bayangnya, rasanya baru kemarin kalimat pamit itu terucap. Namun, rasanya sudah amat sangat menusukkan belati yang paling tajam.

"Berarti usianya sudah enam minggu, ya," ujar ibu mertuanya senang.

Shazia hanya bisa tersenyum. Cukup melihat orang yang dikasihinya bahagia itu sudah cukup menjadi sebuah kebahagiaan.

"Jadi, kapan kamu akan memeriksakannya lagi?" tanya ibu mertuanya dengan tak sabar.

"Insyaallah dua minggu lagi, Ummi. Aku memilih dua minggu sekali karena ...." Shazia menjeda ucapannya.

Hampir saja. Batinnya bersuara.

"Karena apa, Nak?"

"Karena aku ingin terus melihat perkembangannya, Um," jawab Shazia cepat.

Jauh dari lubuk hatinya, Shazia mengucap istigdfar, berharap Allah mengampuni kebohongannya.

Jujur saja, Shazia tak mampu mengatakan kebenaran yang akan membuat orang yang dikasihinya terluka.

"Jaga calon anakmu baik-baik, Sha. Ummi ingin bisa melihatnya sesaat setelah ia dilahirkan, Ummi ingin mendengar tangisnya, dan Ummi juga ingin mendengarnya memanggil Ummi dengan sebutan nenek," jelasnya antusias.

Shazia hanya tersenyum. Dalam hatinya ia berdoa, semoga Allah mengabulkan apa yang menjadi impian mertuanya dan juga impiannya sendiri.

"Insyaallah, Ummi. Shazia akan menjaganya dengan baik. Walaupun kelak, nyawa Shazia adalah gantinya," lirih Shazia.

Ibu mertuanya tersenyum, kemudian wajah pucat itu memeluk erat tubuh kurus menantunya.

"Terima kasih, Nak. Terima kasih," jawab ibu mertuanya.

***

Suasana kota Jakarta begitu panas menyengat siang ini. Akbar dengan tubuh gagahnya tengah meneguk jus alpukat dengan semangat. Huh, rasa hausnya hilang seketika dengan minuman itu.

Akbar tersenyum, ia tahu begitu jika Shazia amat sangat menyukai minuman itu. Bahkan, mereka selalu membeli alpukat setiap minggunya.

"Akbar," ujar seseorang di sampingnya.

"Iya, Fan?" Akbar berucap tanpa menoleh.

"Keadaan Ayah memburuk, aku tidak tahu lagi sampai kapan Ayah mampu bertahan," ucap Fania lirih.

"Serahkan semuanya kepada Allah," jawab Akbar.

Tiba-tiba, ponsel Akbar bergetar, menandakan ada sebuah pesan yang masuk.

Shazia.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mas.

Kapan pulang?

Ini sudah satu bulan, aku kira Mas akan pulang cepat. Padahal, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.

Akbar tertegun, satu bulan bukanlah saat yang terhitung lama?

Sebenarnya apa yang ingin Shazia sampaikan? Apa sesuatu yang begitu penting hingga setiap kali mengirimkan pesan selalu berisi kalimat yang sama di akhir pesannya?

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang