Mentari mulai menampakkan diri dengan malu-malu. Shazia menatap pantulan cahaya itu.
Pagi telah datang, hari baru akan segera dimulai.
Shazia ngambil jangkanya, mulai berjalan pelan meninggalkan kamar. Seusai salat subuh dan tadarus Alquran, Shazia menghabiskan waktu untuk membaca sampai matahari muncul untuk menggantikan tugas rembulan.
Shazia membuka pintu rumahnya. Halaman terhampar di depan mata, beberapa bunga telah mekar, sisa-sisa embun pagi masih nampak di dedaunan.
"Bismillahirrahmanirrahim," lirih Shazia. Dengan pelan ia melangkahkan kakinya ke luar rumah.
Setiap pagi. Berjalan-jalan beberapa menit adalah rutinitas Shazia. Sekedar melatih kedua kakinya agar segera mendapatkan fungsinya lagi.
Kemarin, Akbar kembali pulang ke rumahnya. Bahkan satu bulan berturut-turut Akbar terus pulang ke rumahnya dengan dalih ingin membantu Shazia dalam terapi yang tengah dijalaninya.
Itu hanya alibi. Karena sesungguhnya Akbar ingin segera mengembalikan kepercayaan Shazia padanya.
Akbar tahu, selepas kejadian di mana Shazia mendengar semua percakapannya bersama Zaki membuat kepercayaan Shazia terkikis habis.
"Kamu juga bertanggung jawab atas Fania. Jangan karena aku, kamu jadi melalaikan tanggung jawabmu. Allah tidak akan suka." Itulah kalimat yang bisa Shazia ucapkan saat melihat Akbar kembali pulang ke rumah mereka.
Bukan hal seperti ini yang Shazia inginkan. Ia ingin menghentikan langkah Akbar karena langkahnya akan mengundang murka Allah.
Memang bersikap adil setelah berpoligami bukanlah sesuatu yang mudah. Di mana segala sesuatu harus dibagi dengan setara. Tidak ada yang diberi lebih atau dikurangi.
Dan itu yang belum mampu Akbar lakukan. Jika dulu pria itu lebih sering mungatamakan Fania, sekarang pria itu lebih sering mengutamakan Shazia.
***
Hamparan taman yang indah terlihat menenangkan. Bunga mawar biru yang menjadi ciri khas taman itu terliaht begitu berkilauan karena cahaya matahari.
"Terima kasih," gumam Fania.
"Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya tidak suka jika seorang wanita bersedih."
Fania menoleh. Ia menghentikan kegiatan mengemilnya sejenak. Inikah seorang Zaki yang pernah menjadi temannya?
Sudah satu bulan lebih, Akbar tak pernah mengunjunginya. Hanya ada uang puluhan juta yang mengisi rekeningnya.
Sejujurnya Fania kecewa. Akbarnya telah berubah. Akbar tak lagi mempedulikannya. Padahal dengan jelas, Fania akan segera mengabulkan apa yang Akbar inginkan.
"Aku rasa, satu batang cokelat bisa membuat Nona manis ini tersenyum." Zaki menyodorkan sebatang cokelat tepat dihadapan Fania.
Fania hanya bisa tersenyum. Kemudian perlahan membuka bungkus cokelat itu dan memakannya.
Dikunyahnya cokelat itu pelan. Rasanya hambar. Sama seperti hatinya. Rasa manis dari cokelat itu memang terasa, namun tak sampai pada hatinya.
Zaki menatap Fania. Sejujurnya ia enggan melakukan hal demikian. Berpura-pura baik dan menyayangi wanita di sampingnya. Setelah dengan jelas, wanita itu sudah terlalu sering melakukan hal yang membuat orang yang begitu dicintainya terluka, yaitu Shazia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...