32.) Maaf Untuk Akbar (1)

7.8K 518 48
                                    



***

Suasa pagi yang mendung seakan ikut menghapus semangat Shazia. Memang sejak pukul tiga pagi, wanita yang tengah berbadan dua itu selalu bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan apapun yang sudah masuk ke tenggorokannya.

Hingga kini, pukul delapan pagi wanita itu masih saja bergulung di balik selimut tebal.

Bulan kembali berganti, jujur saja. Semakin hari hati Shazia semakin diselimuti rasa takut. Fonis dokter yang mengharuskannya istirahat total menjadi salah satu alasan mengapa ketakutan itu ada.

Padahal dirinya tahu, bahwa Allah itu bisa mengubah apapun jika Dia kehendaki. Lalu mengapa hati Shazia tetap merasakan sebuah ketakutan?

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ummi."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Sayang. Apa kamu sudah minum obat hari ini?"

Shazia tersenyum simpul. Meski wanita yang menghubunginya beberapa saat yang lalu ada ibu mertuanya, namun kasih sayang yang Shazia rasakan lebih dari itu.

"Sudah, Ummi. Terima kasih karena selalu mengingatkan Shazia."

"Tidak perlu mengucapkan itu, sayang. Ummi ingin yang terbaik untukmu."

Shazia tersenyum kecil. Dalam hatinya ia mengucap syukur. Walau kepulangan suaminya entah kapan, namun tetap ada ibu mertua yang selalu memperhatikannya.

Kebahagiaan memang tak harus ia dapatkan sepenuhnya. Walau pada kenyataannya manusia memang makhluk yang serahkah. Kala sudah mendapatkan satu, tak jarang ia meminta yang kedua dan seterusnya.

Namun, sebisa mungkin sifat itu Shazia jauhkan dari dirinya. Karena, kala ketidakadilan melanda. Maka keserakan itu akan menang atas dasar keinginan sendiri. Dan Shazia tak ingin sifat itu hadir dalam dirinya.

Sekelebat, ingatannya kembali tertuju kepada sang suami. Percakapan mereka satu minggu lalu masih berbekas di benak Shazia.

Pria itu tak mengatakan waktu kepulangannya. Hanya saja, pria itu akan kembali kala urusannya telah selesai.

Lalu, sampai kapan Shazia harus menyembunyikan kabar kehamilannya?

Memendam ini sendirian memang tak mudah. Namun, jujur untuk saat ini juga bukan saat yang tepat. Keadaan sudah keruh, dan jika kabar ini terangkat ke permukaan, maka keadaan akan semakin keruh.

Sudahlah, biar waktu yang menjawab kapan rahasia ini akan terungkap.

***

Akbar menghela napas lelah, tujuh hari berlalu dengan begitu cepat. Sudah tiga kali, ia harus membatalkan keberangkatannya ke Malaysia.

Alasan pertama tak lain adalah keadaan ayah mertuanya, alasan kedua adalah keadaan fisik istri keduanya yang tiba-tiba memburuk, dan alasan terakhir adalah dirinya sendiri yang memburuk.

Apa semesta memang sengaja mengajaknya bermain?

Padahal, rasa rindu untuk Shazia sudah amat menggunung di hatinya. Tidak ada temu apalagi kisah kasih. Namun, buana seakan menyelimuti jalannya untuk kembali.

"Tunggu aku pulang, sayang," lirihnya sembari memejamkan mata. Berharap rasa sakit di kepalanya telah lenyap kala ia terbangun nanti.

Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang