23.) Kilas Balik

6.2K 394 17
                                    

Ketukan pintu membuat Fania mengalihkan pandangannya. Sosok pria bertubuh tinggi datang menghampirinya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucapnya sembari memasuki ruangan.

"Sudah lama?" tanyanya lagi. Fania hanya mengangguk.

Sore ini, Fania tengah bersantai sembari menikmati secangkir cokelat panas di balkon kamarnya. Semilir angin yang bertiup seakan ikut mendinginkan suasana hatinya.

"Cepatlah bersiap. Kita akan makan malam di luar." Akbar, pria itu mengatakan kalimat membahagikan bagi Fania.

Satu jam berselang. Kini keduanya tengah berjalan bergandengan menuju sebuah rumah makan. Suasana sore membuat keduanya begitu menikmati momen langka ini.

"Maafkan aku. Selama ini aku telah menyakiti hatimu. Membiarkanmu menunggu selama sebulan tanpa kabar dariku. Memaki dan bahkan memukulmu sampai tak sengaja aku membuat dia pergi untuk selamanya," jelas Akbar parau.

Suasana rumah makan yang begitu romantis. Meja dan kuris dari ukiran kayu, lampion-lampion yang bersinar menggantikan peranan lampu, bunga mewar merah yang merekah di tengah meja mereka.

"Aku tahu, selama ini apa yang aku lakukan memang salah. Melukaimu lalu menyiksamu dengan hubungan ini. Mulai saat ini, izinkan aku untuk belajar mencintaimu. Menjadikanmu bak putri dalam sebuah negeri. Izinkan aku untuk menjadi suamimu," lanjutnya sembari mengecup kedua tangan Fania.

Seketika, kedua mata Fania berkaca-kaca. Inilah yang ditunggunya selama ini. Oh siapapun orang yang ada di sini. Tolong bangunkan dirinya jika ini hanya sebatas mimpi.

Keduanya tampak saling mendekap begitu erat. Butiran kristal bening menetes tepat di pipi mulus Fania. Semua mimpinya menjadi nyata.

***

Di taman belakang, Shazia tengah merawat bunga-bunganya. Berbekal sepasang jangka, Shazia melihat bunga-bunga kesayangannya yang tengah bermekaran.

Entah karena apa, Shazia begitu menyukai segala jenis bunga. Mungkin karena dari bunga Shazia belajar bahwa semua itu akan berproses. Karena, tak semua bunga mekar apa waktu yang sama dan dengan hasil yang indah.

Hari ini, adalah hari di mana Akbar pulang ke rumahnya. Masakan kesukaan Akbar telah menanti tuannya. Sejak ba'da asar Shazia menyiapkan makan malam untuk suaminya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sha," ucap Akbar sembari merangkul bahu Shazia.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas. Sudah pulang?" Pertanyaan retoris, itulah yang baru saja Shazia tanyakan.

"Aku mencium bau makanan yang enak," jelas Akbar sembari tersenyum manis.

Shazia hanya menggelengkan kepala. Ia tahu jika suaminya tengah kelaparan.

"Ayo kita makan," ujar Shazia seraya menggandeng tangan kanan Akbar.

Keduanya makan dengan persaan bahagia. Makanan yang begitu lezat dan suasana yang begitu manis ikut mendapingin kebahagiaan mereka. Bolehkan jika saat ini Shazia menyimpulkan bahwa Akbar yang dulu telah kembali?
.
.
Petang memang waktu yang pas untuk bersantai. Wajah kusut yang biasa ia perlihatkan kini telah berganti dengan wajah cerita.

Kemarin malam adalah waktu bersejarah untuknya. Akhirnya, semua keinginannya tak hanya menjadi keinginan semata.

"Aku mencintaimu, Akbar," gumamnya pelan.

Hatinya berbunga-bunga, berjuta kupu-kupu beterbangan dalam perutnya. Sungguh, ini kebahagiaan yang tak terhingga.

Sampai sebuah hal menghapuskan senyumnya.

Bagaimana jika Akbar mengetahui semuanya? Akankah semuanya akan tetap seperti ini?

Flashback on.

"Akan jadi apa kau selanjutnya jika semua hal seperti ini tetap kau jalani?"

Wanita itu menunduk dalam diam. Sekarang, panggilan gadis tak lagi pantas untuknya. Melainkan wanita.

"Keluarga kita tak pernah menanggung malu sebesar ini? Sebenarnya apa dosa kita sehingga kau melakukan semua ini?" teriak ayahnya marah.

Fania, wanita itu menunduk dalam.

"Maafkan aku, ayah," lirihnya pelan.

Ayahnya menghela napas. Permintaan maaf atau lain sebagainya tak akan mampu menghilangkan bencana yang tengah menimpa keluarga mereka.

"Kita gugurkan saja janin itu! Dia tak diinginkan siapapun," tegas ayahnya.

Mata Fania kembali berkaca-kaca. Bagaimana bisa keputusan serumit itu bisa ayahnya pilih?

"Janin ini tak berdosa, Ayah. Akulah yang berdosa," bisik Fania.

"Maksudmu apa? Kau yang ingin Ayah lenyapkan?" Fania mematung. Maksudnya bukan seperti itu.

"Kita bisa mengambil jalan keluarnya nanti, Ayah. Aku mohon, jangan mengambil keputusan kala sedang marah." Akhirnya Fania berusaha menjawab.

"Sampai kapan? Kau tahu? Apa yang ada pada dirimu itu adalah sebuah aib besar. Aib yang akan membuat kita semua menanggung malu," jelas ayahnya sembari bergegas meninggalkan ruangan.

Fania kembali menangis pilu. Ujian macam apa ini?

Dengan segera, Fania segera mencari ponselnya. Mengetik sebuah nama kemudian mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang.

Honey
Kau harus bertanggung jawab!

Pesan itu telah terkirim, namun tak kunjung mendapatkan jawaban.

Ujian akan datang silih berganti mencari pemiliknya. Namun, pada semua itu. Akan ada sebuah pelajaran berharga yang tak akan bisa dibeli oleh apapun juga.

Flashback off.

Air matanya kembali menetes. Semua perasaan bersalah itu kembali memenuhi relung hatinya.

Ia bukanlah wanita nakal yang menjajakan tubuhnya pada sembarang pria. Ia adalah wanita terjaga. Sebelum seorang pria menghancurkan semuanya. Iya, dirinya telah jatuh pada pesona pria itu. Hingga membuatnya lupa akan batasan yang ada.

"Maafkan aku, karena aku terlalu banyak berbuat kesalahan yang sebenarnya tak akan termaafkan. Tanpa sengaja, sudah dua nyawa dalam kandunganku yang lenyap. Aku memang bukan ibu yang baik," ucapnya sembari memandang lurus ke depan.

•••

TBC

Ciamis, 01-Mei-2019
25-Sha'ban-1440 H
Virachma.

Warning:

1. Jangan baca diwaktu salat.
2. Jadikan Alquran sebagai sebaik-baiknya bacaan.
3. Simpan baiknya dan buang buruknya. Karena tulisan ini hanya coretan tangan manusia biasa.
4. Tinggalkan jika ini melalaikan!

Semoga kalian tidak lupa dengan cerita ini. Salam manisku. Vii.

See you next part:)



Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang