"Apa maksudmu, Sha? Bukankah kamu tahu sendiri apa yang dokter katakan kala itu?" Akbar berucap sembari menahan nada suaranya agar tetap lembut di hadapan istrinya.
"Dokter itu bukan Allah, Mas. Dokter memang memvonis. Tapi, Allah yang menentukan takdir setiap manusia. Apa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin apabila Allah berkehendak. Tugas kita hanya berdoa dan berusaha," tutur Shazia sembari mengelus lembut punggung suaminya.
Akbar menghela napas. Keputusan yang Shazia ambil dua hari lalu membuat kepalanya seakan akan pecah. Masalahnya dengan Fania bahkan belum selesai, namun Shazia kembali melakukan satu hal yang membuat Akbar kebingungan.
"Aku hanya ingin membuat Ummi bahagia, Mas. Tidak ada yang lain," lirih Shazia.
"Tapi, bukan dengan itu, sayang. Kita bisa mencari jalan lain," ujar Akbar sembari mendekap Shazia.
Mata kedua insan itu memanas, keduanya sama-sama merasakan sakit. Sementara itu, di ujung sana berdiri seorang wanita dengan tatapan marah. Apa hanya karena ia berbuat satu kesalahan menjadikan dirinya tidak lagi berharga?
Tak lama, kemudian sosok itu berlalu pergi dengan tatapan mata tak bersahabat.
"Aku tidak akan menyerah. Jika dia ingin bisa punya anak aku pun harus begitu," ucapnya sembari melenggang pergi.
***
"Terima kasih, Nak. Ummi sangat bahagia," lirih wanita paruh baya di atas ranjang pesakitan.
"Iya, Ummi. Hanya ini yang Shazia bisa berikan. Karena Shazia tidak punya hal lain," jawab menantunya, Shazia.
"Ini sudah yang terbaik, Nak. Ummi merasa mempunyai nyawa baru." Keduanya tersenyum, saling melempar pandang bahagia. Tanpa tahu, seorang pria di seberang sana menahan ngilu pada hatinya.
"Kapan program hamil itu akan dimulai?" tanya ibu mertua Shazia dengan antusias.
"Kita akan berkonsultasi dengan dokter di Singapura setelah pulang dari sini, Um." Kini giliran Akbar yang menjawab pertanyaan ibunya.
"Syukurlah, Ummi tunggu kabar bahagia itu dari kalian." Tanda jeda, senyum wanita paruh baya itu merekah.
"Fania mana?" Wanita paruh baya itu kembali berkata.
"Aku di sini, Ummi," jawab Fania dari balik pintu ruang inap.
Keempat orang itu menatap Fania. Wanita itu tersenyum. Bukankah tadi wanita itu menolak ikut, lalu sekarang ia ada di sini?
"Ke mari putriku, kenapa baru ke sini?" tanya ibu mertua Fania.
Fania melangkah, kemudian berdiri di samping ranjang pesakitan ibu mertuanya.
Mencium punggung tangan wanita yang tak lagi muda itu. Kemudian memeluknya eray.
"Ummi kira kamu tidak ikut bersama mereka," lirih ibu mertuanya.
Fania hanya tersenyum simpul. Entah akan menjawab apa.
***
"Keputusan ada di tangan kalian. Ini akan berbahaya, namun benar. Allah adalah penentu segalanya. Apa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin jika Dia telah berkehendak," ucap pria berjas putih.
Shazia menghela napas. Haruskah sedalam ini?
"Kita akan berusaha, Dok," jawab Akbar sembari menggenggam tangan kanan Shazia.
Ucapan Akbar begitu terdengar menyakinkan. Padahal sebelum pergi ke sini pria itu dengan terang-terangan menolak keinginan Shazia.
"Bagaimana jika gagal, Mas?" lirih Shazia setelah keduanya berada di mobil.
"Jika memang Allah akan memberikan kita amanah, serumit apapun jalannya pasti akan bisa kita lewati." Akbar berucap begitu tenang.
Shazia ikut menyunggingkan senyuman. Hatinya diselimuti ketenangan kala suaminya telah mendukung keputusannya.
"Terima kasih, Mas," ujar Shazia.
Akbar hanya tersenyum sembari mengusap lembut pucuk kepala istrinya.
Keputusan dokter sejujurnya membuat mereka kembali terpukul.
"Keadaan rahimnya belum baik. Jika tetap dipaksakan maka akan berdampak buruk. Benturan yang sangat keras dan pendaharan menjadi pemicu luka. Saya harap kalian bisa memilih pilihan yang bijak."
Keadaan rahim yang tidak baik, dan itu tak bisa dipaksakan. Kecelakaan itu membuat sebagian fungsi rahim Shazia belum siap untuk digunakan. Entahlah, rasanya itu juga merupakan sebuah tamparan.
***
Enam bulan berlalu, selepas menjalankan serangkaian program yang cukup melelahkan, tiba juga saat penantian itu usai.
"Alhamdulillahirabbil'alamin, terima kasih Ya Allah," lirih Shazia dengan mata bekaca-kaca. Andai Akbar ada di sini saat ini, maka ia akan langsung memberikan kabar baik ini kepada suaminya.
Shazia segera mengambil ponselnya, secepat kilat menemukan nomor suaminya. Dengan perasaan bahagia yang membuncah ia berharap suaminya segera mengangkat teleponnya.
"Assalamu'alaikum, Mas. Aku ...."
Shazia membulatkan matanya. Seluruh rangkaian kalimat yang telah ia susun sia-sia sudah. Hanya air mata yang datang membasahi kedua pipinya, menghancurkan tetesan air mata bahagia sebelum itu.
•••
Ciamis, 22-Juni-2019.
18-Syawal-1440 H.
Virachma.Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh?
Masih adakah yang membaca cerita ini? Jika iya, tolong berikan satu saja huruf sebagai tanda jika kalian masih ingin cerita ini dilanjutkan.
Aku tunggu jawaban kalian. See you, Vii.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...