Malam pekat begitu menyelimuti bumi. Sudah satu jam, namun keduanya tetap membisu.
Tidak ada sapaan, tidak ada gurauan, bahkan tidak ada kalimat indah nan penuh cinta. Kini, yang tersisa hanyalah kegaduhan dari setiap hati yang ada.
"Kau telah menipuku," gumamnya pelan. Air matanya bahkan sudah meluncur begitu saja.
"Tidak. Maksudku bukan seperti itu," jawab wanitanya.
"Lalu apa?" lirihnya lagi.
Tak lama keduanya kembali saling membisu. Rasanya tak ada lagi yang perlu dijelaskan saat kebenaran telah terkuak begitu saja.
"siapa dia di matamu?" tanyanya lagi.
"Dia hanya masa laluku dan tak akan lebih dari itu," jawabnya tanpa keraguan.
Ia berdecih. Drama queen.
"Katakan sekarang! Atau jika tidak kau akan menyesal nantinya," tegasnya lagi.
"Aku sudah mengatakannya, Akbar."
Ia adalah Akbar. Si pria keras kepala.
"Kau sudah terlalu banyak berbohong dan Allah tidak akan menyukai itu," tegas Akbar kemudian menatap Fania, istrinya.
"Di sini bukan hanya aku yang akan membuat Allah murka. Tapi, kau juga. Kau tidak bisa berlaku adil kepada istri-istrimu dan apakah itu bukan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah?" Skak. Akbar terdiam. Apa yang dikatakan Fania memang benar adanya. Dirinya telah gagal.
Akbar segera bangkit dari duduknya berjalan cepat menuju pintu dan keluar rumah tanpa satu kata pun.
Mobil yang dikendarainya melanju dengan kecepatan di atas rata-rata, dengan keadaan marah ia menancap gasnya menuju rumah lamanya. Rumahnya dan Shazia.
"Assalamu'alaikum." Akbar mengucap salam sembari membuka pintu hingga terbuka lebar.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Shazia dengan setengah terkajut saat melihat kedatangan Akbar.
Dengan segera Shazia membawa punggung tangan pria itu dan mengecupnya singkat.
"Maaf aku tidak sempat membukakan pintu," ucap Shazia pelan.
Akbar hanya menimpali dengan senyuman. Sejujurnya, sambutan dari Shazia beberapa saat yang lalu sudah sangat cukup untuknya.
"Ayo kita masuk, Mas. Aku sudah memasak sarapan untuk kita," lanjut Shazia sembari menutup pintu.
Rumah sudah tertata rapih bahkan dalam waktu sepagi ini. Hanya ada satu asisten rumah tangga yang merangkap menjadi supir dan itupun hanya bekerja apabila Akbar sedang tidak ada di rumah. Selebihnya Shazia akan mengerjakannya sendiri.
"Aku beruntung memiliki istri sepertimu," ujar Akbar sembari membawa tangan besarnya untuk membelai lembut kepala istrinya.
Shazia tersenyum di balik cadarnya. "Ini sudah tugas dan kewajibanku, Mas."
Keduanya saling tersenyum kemudian menikmati sarapan dengan perasaan tenang dan bahagia.
Padahal beberapa saat yang lalu, Akbar sudah menghabiskan satu mangkuk bubur ayam. Tapi, rasa laparnya seakan bangkit kembali kala melihat makanan yang telah Shazia buatkan.
Terima kasih, sayang. Batin Akbar.
***
Sore ini Fania tengah merenung. Kesalahan besar yang beberapa hari lalu dilakukannya begitu berdampak pada rumah tangganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Memohon - TERBIT DI DREAME
Spiritualبِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ (Revisi setelah selesai) Hidup adalah pilihan. Pilihan di mana semuanya membutuhkan keputusan terbaik agar dapat menjadi sebuah jawaban. Saat harus memilih menjadi orang bersyukur ataupun kufur, sabar atau marah...